17

5.3K 502 30
                                    

Part ini sedikit lebih panjang.
Happy reading.














***





Kembali bertemu senin, cukup menyebalkan juga. Tapi di hari Senin, Aga lebih punya waktu bersama Raya. Seperti biasa, gadis itu selalu menemani Aga yang duduk santai sambil menyeruput teh hangat yang kembali dibuatkan oleh adik kelas. Hari ini, dia di antar Mami, karena Mami Sonya tidak mengizinkan aga mengendarai motornya ataupun di bonceng Saga. Eyang Gusti tidak ke sekolah karena sedang sakit, membuat Aga kembali mendapatkan kultum sepanjang perjalanan yang rasanya sangat panjang karena Mami mengendari mobil dengan sangat pelan.

Perhatian kecil raya seperti menanyakan kabar dan selalu saja ada kejadian yang membuat dua anak remaja itu bersama di sebuah keadaan, membuat perasaan aga semakin terombang-ambing. Mulai detik ini sepertinya aga akan percaya pada dua temannya yang kini sedang kepanasan itu, bahwa raya menaruh rasa padanya. Bukannya ke-geer-an, tapi perhatian Raya memang lebih dari teman perempuannya yang lain, atau aga saja yang tidak sadar jika dari dulu dia tidak pernah mempunyai teman sedekat Satya dan Gavin? Apalagi seorang gadis.

"Gak bosen gitu, minum teh terus? Mana tawar," kata Raya. Gadis itu duduk di samping Aga sambil menarik beberapa lembar tisu.

"Di gula-in juga percuma, gak bakal kerasa."

Mata raya terbelak kaget, "Lo gak bisa ngerasain rasa manis?"

Tanpa menoleh, Aga meletakkan gelas bening yang kini sudah tak berpenghuni itu.

"Manisnya, kalah sama Lo."

Raya hampir tersedak ludahnya sendiri, tangannya yang sedang mengelap keringat di dahi Aga mulai berganti posisi. Kini punggung tangannya yang dia tempelkan di dahi dan pipi Aga.

"Gak panas," gumamnya.

"Lo pasti gak minum obat kan, tadi pagi?" Lanjutnya sambil memicingkan mata.

"Emang."

Kali ini raya benar-benar terkejut, tapi melihat wajah Aga yang semula bersinar mulai meredup, membuat raya mengurungkan niatnya untuk memarahi Aga.

"Kenapa?" Tanya Raya.

Aga menatap lurus ke langit biru yang tak berawan itu, matahari bersinar terang di pukul delapan pagi. Tak ada sepoi-sepoi angin cukup membuat Aga merasa gerah, padahal dia hanya duduk. Dari SD sampai sekarang, aga tak pernah sekalipun mengikuti kegiatan lapangan berbentuk apapun sampai tuntas dan selesai. Paling lama, hanya setengah acara, itupun berakhir di ruang gawat darurat.

"Obat gue, dari hari ke Minggu dan bertahun-tahun ini selalu aja bertambah ataupun berubah. Tapi, rasanya gak ada perubahan yang gue rasain. Lagipula, penyakit gue belum ada obatnya sampai sekarang, minum obat itu sama aja kaya menyiksa gue lebih lama."

Raya terpaku mendengar jawaban Aga, ingin bertanya lebih, tapi dia rasa ini bukan waktu yang tepat. Topik pembicaraan kali ini cukup sensitif, tak baik jika di dengar orang banyak. Akhirnya gadis itu hanya menepuk bahu Aga pelan, membuat remaja dengan tinggi badan 176 cm itu menoleh.


"Justru karena hidup di dunia itu cuma sekali, harus di pergunakan sebaik mungkin. Percaya, usaha gak akan pernah mengkhianati hasil.






***

Jika biasanya jam kosong adalah hal yang paling di tunggu oleh Aga, kali ini dia sangat berharap jika ada guru yang masuk atau setidaknya memberikan tugas agar dia punya alasan. Tepat setelah pemeriksaan sehabis upacara selesai, Satya dan Gavin langsung menyeret aga ke dalam kelas mereka yang cukup jauh dari lapangan utama. Merecokinya dengan berbagai pertanyaan yang sudah jelas jawabannya.

ABYAN (end)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang