Kehilangan memang menjadi bagian terberat dalam kehidupan. Pada hakikatnya, setiap manusia harus sudah sadar akan kematian, yang hidup pasti akan mati, yang datang pasti akan pergi, dan yang sudah hilang belum tentu bisa kembali.
Dulu, aga pikir titik terberat dalam hidupnya adalah ketika Aga mengetahui jika dia hadir sebelum adanya hubungan pernikahan, dia lahir tanpa keinginan, dan dipaksa hidup dengan keadaan yang menyedihkan. Tapi sekarang, Aga rasa jika titik terberat dalam hidupnya adalah kematian. Aga takut mati, tapi jika rasa sakit itu kembali menyerang rasanya dia ingin mati saja supaya tidak kesakitan lagi.
Keadaan aga saat ini terlihat begitu mengenaskan, baju yang tidak diganti selama dua hari, rambut acak-acakan, rona pucat di wajahnya yang kentara sekali, membuat anak itu hanya bisa duduk bersandar di kepala ranjang sambil menatap kosong ke arah jendela yang sedikit basah terciprat air hujan.
Saga mendesah pasrah ketika membuka pintu kamar Aga, lelaki berkulit pucat itu hanya duduk bersandar ataupun tertidur sejak pulang kerumahnya. Saga bingung, Aga harus minum obat yang semakin banyak jenisnya, tapi melihat keadaannya yang begini, mana mungkin lambung Aga akan kuat menahan betapa kerasnya obat-obatan tersebut.
Saga berjalan masuk sambil membawa semangkuk bubur ayam kesukaan aga, yang khusus di buatkan sang penjual karena tahu jika langganannya itu sedang sakit. Saga harap, kali ini ada sesuap nasi yang masuk dan bertahan di perut anak itu.
"Makan dulu, Ga. Gue suapin, bubur nya kang Ujang nih, spesial katanya."
Aga hanya menatap kosong ke arah jendela yang sedikit basah terkena cipratan air hujan, mulutnya tak bersuara sejak pulang dari makam eyang, membuat orang rumah jadi kelimpungan karena sependiamnya aga itu tidak mungkin akan tetap diam saat mencium aroma masakan.
"Lo belum makan dari kemarin, kasian peternakan cacing Lo, pasti udah pada kurus kayak pemiliknya."
Saga mendekatkan sesendok bubur yang sudah dia tiup ke depan mulut aga yang masih terkatup rapat, "Ayo, mang Ujang bela-belain Anter ke rumah khusus buat Lo."
Saga yang tangannya sudah pegal kembali menghela napas, aga ini kalau sudah merajuk macam perawan, susah buat di balikin. Dia tidak tahu apa yang terjadi antara Om Bayu dan Aga kemarin, yang dia tahu Aga memaksa Om Bayu untuk pulang berdua karena ingin pergi ke makam Eyang Gusti. Tapi setelah sampai rumah, wajah Aga terlihat muram dan sampai sekarang hanya diam bagaikan patung.
"Lo kenapa sih, Ga?"
"Kalau Lo diem terus kayak gini, kita semua jadi bingung. Gue tau Lo sedih, tapi yang berduka bukan cuma Lo."
"Eyang Gusti juga gak akan suka liat Lo kayak gini."
"Please, jangan bikin Mami dan Eyang Mira khawatir. Lo boleh gak peduliin gue, tapi seenggaknya pikirin eyang Mira dan Mami, Ga."
"Makan ya?"
Saga kembali mendekatkan sesendok bubur ke depan mulut Aga, berharap anak itu sedikit luluh setelah mendengar ucapannya.
Tapi melihat Aga yang tetap diam dan tidak merespon sama sekali membuat Saga kesal, dia menurunkan tangannya kemudian meletakkan mangkuk bubur itu di atas nakas sambil di entakan, dapat Saga lihat jika Aga sedikit berjengkit kaget, tapi tetap tak mengalihkan pandangannya pada jendela basah yang mulai buram itu.
"Mau Lo apa sih, Ga?"
"Lo pikir, dengan acara mogok makan dan diem aja kayak mayat idup gini bisa bikin semuanya kembali seperti semula? Sadar, Ga! Keadaan kita masih berduka dan Lo malah begini. Sekali aja Ga, jangan bikin kita khawatir."
Aga mengalihkan tatapannya pada wajah Saga, wajah yang sedikit mirip dengan wajahnya itu lahir dua bulan sebelum Aga lahir, beberapa orang mengira jika mereka kembar jika Saga dan Aga di ajak Mami Sonya bepergian. Kalau bisa, aga juga berharap mereka berdua benar-benar kembar dan terlahir dari rahim yang sama.
"Lo juga udah capek ya, bang, ngurusin gue terus."
Aga terkekeh sumbang, "Jangankan kalian, gue aja capek sama diri gue sendiri."
"Harusnya yang mati itu gue, yang penyakitan dan nyusahin itu kan gue, kalau gue mati, kalian gak bakal kerepotan ngurusin gue yang bahkan disuruh makan aja susah."
Saga berdiri dari duduknya. Mendengar perkataan Aga sungguh membuat emosinya terpancing. Saga benar-benar tak habis pikir dengan jalan pikiran Aga. Setelah menghela napas kasar, saga tersenyum sinis sambil melipat tangan di depan dada.
"Iya, gue capek."
"Capek banget ngurusin anak penyakitan dan nyusahin kayak Lo."
Saga mengangkat sebelah alisnya ketika melihat Aga yang menatapnya dengan tatapan tak percaya.
"Apa? Gak terima? Kan Lo sendiri yang bilang kalau Lo itu penyakitan dan nyusahin. Kayanya apa yang udah gue lakuin buat Lo gak ada artinya, ya? Sia-sia gue khawatir sama Lo selama ini."
"Sekarang terserah, gue gak bakal ikut campur sama semua urusan Lo lagi. Lo mau makan ataupun enggak gue gak peduli, gue gak bakal minta Lo buat bertahan karena Lo pengen mati. Kalau itu yang Lo inginkan, silahkan."
Aga jatuh terduduk di lantai, keadaannya yang masih lemah membuat kakinya tak mampu lagi menopang tubuh yang semakin lemas ketika mendengar kalimat menyakitkan dari orang terdekatnya. Sungguh, aga tidak bermaksud membuat Saga Semarah ini. Aga hanya lelah, dia lelah dengan hidupnya yang tak pernah baik-baik saja. Tangisannya pecah, aga benar-benar tak mengerti apa yang terjadi. Dia bingung dengan dirinya sendiri. Kenapa dia bersikap seperti ini? Semuanya benar-benar dilaur kesadarannya.
Saga tidak peduli, karena emosinya masih diluar kendali, dia segera berbalik berjalan cepat menuju pintu, dan keluar dari kamar Aga kemudian menutup pintu dengan kasar. Mengabaikan tangis aga yang pecah sambil meminta maaf dan memanggil-manggil namanya.
Saga tidak benar-benar serius dengan ucapannya. Dia hanya tidak tahu lagi harus bersikap bagaimana pada Aga yang selalu berpikir seperti itu. di balik pintu, Saga meluruhkan tubuhnya sambil bersandar dan menangis pelan. Sungguh, Saga benar-benar menyesal telah mengatakan semuanya. Dia tidak bermaksud menyakiti Aga lebih dalam lagi, dia tidak merasa lelah ataupun kerepotan untuk mengurus Aga. Karena Aga adalah separuh hidupnya.
"Maafin gue, Ga."
"Gue cuma takut kehilangan Lo."
***
Part ini lebih pendek ya, huhu aku cuma bisa ngetik segitu dan ide ku cuma nyampe segitu.
Maaf banget baru up lagi, beberapa hari kemarin aku sibuk nyari loker dan ngirim beberapa lamaran sama temanku.
Maaf banget kalau part ini kurang dapet feel nya, masih datar banget konflik nya. Tapi aku udah berusaha semampuku.
Thanks banget buat 8k reader, gak nyangka bisa dapet reader sebanyak ini. And thanks juga buat 900+ vote dan 90+ komentar, aku benar-benar mengapresiasi ini semua. Pemicu semangat untuk lanjut nulis, makasih banyak semuanya....
Papayy
Sampai ketemu di chapter selanjutnya....Btw, follow Ig ku yuk : Cicikayy_
KAMU SEDANG MEMBACA
ABYAN (end)
Teen FictionJika bisa memilih, mungkin seorang Abyan Naraga juga tidak ingin lahir dari 'sebuah kesalahan'. Sejak lahir, Aga di rawat oleh eyang dari Papa, karena kedua orangtuanya memutuskan untuk berpisah, usia yang masih muda membuat mereka merasa tak bisa m...