5

6.5K 663 21
                                    

Ketika teman sekelasnya berhamburan keluar setelah mendengar bel berbunyi, apalagi jam terakhir tidak ada yang mengisi. Aga malah terlihat malas-malasan di kursinya. Walaupun tadi dia mengiyakan perintah Mami Sonya, pertemuan di pusat perbelanjaan beberapa waktu yang lalu masih berbekas. Meskipun Aga bilang dia tidak peduli dan terkesan bodo amat, tetap saja, hati kecilnya sebagai seorang anak pasti merasa iri.

Aga masih menelungkupkan wajahnya diantara lipatan tangan di atas meja, anak itu sudah memakai jaket dan merapikan tasnya sebelum bel pulang berbunyi. Satya dan Gavin saling pandang, menurut mereka, Aga itu sejenis spesies aneh. Mungkin sekarang dia terlihat lesu dan tidak bersemangat, tapi beberapa menit kemudian pasti berubah kembali seperti tidak terjadi apa-apa. Jadi mereka diamkan saja sampai anak itu sadar sendiri.

Kalau Raya masih di kelas, pasti Gavin sudah menggoda Aga habis-habisan. Sayangnya, gadis itu langsung di tarik keluar setelah mendengar pengumuman rapat dadakan untuk pengurus kelas.

Pahanya terasa bergetar, Aga segera merabanya, kemudian mengeluarkan HP yang terselip di saku celana. Ternyata ada panggilan dari Saga.

"Udah di depan?"

"Masih di skolah, Lo pulang duluan aja, gue ada rapat OSIS."

Aga berdecak pelan, "Kenapa gak telpon dari tadi, Bambang."

"Itu nama bapak gue, Bayu! Dadakan pengumumannya, kayak tahu bulat."

"Bukannya, Lo udah lengser? Ko masih ikut rapat?"

"Gue itu orang berpengaruh, meskipun masa jabatan sudah selesai,  tetap diikut sertakan disetiap kegiatan, hahaha."

"Pede,gila!"

Dapat Aga dengar kalau Saga makin terbahak.

"Dahlah, pulang sono. Selamat temu kangen dengan Papa tercintah, adikku."

Tanpa menjawab, Aga segera memutuskan panggilan. Berdecak pelan sambil memasukan Handphone nya ke saku jaket.

"Pulang yuk," ajaknya pada Satya dan Gavin yang masih diam di bangku masing masing.

"Jadi, dari tadi Lo diem, karena lagi nungguin Saga?" Aga mengangguk, membenarkan pertanyaan Gavin.

Gavin menjatuhkan rahangnya, dan Satya yang mengelus dada pelan, membuat Aga menatap keduanya heran.

"Kalian kenapa?"

Satya segera berdiri, "Gapapa, kayaknya parkiran udah sepi, yuk Pulang." kemudian menarik tangan Aga untuk segera keluar kelas.

Gavin masih duduk di bangkunya, dia jadi bingung sendiri mau memasukan Aga kedalam golongan apa, di sebut pendiam, tidak. Di sebut pecicilan, tidak juga. Pemalu? Mana mungkin orang pemalu, dengan entengnya minta teh hangat ketika upacara akan dimulai. Entahlah, yang pasti, Gavin baru sadar, kalau Aga dan Satya telah meninggalkan dirinya sendirian di dalam kelas. Kampret!





Aga melajukan sepeda motornya dengan santai, Motor berwarna hitam jenis Scoopy itu adalah pemberian Om Darel, Suaminya Mama Nadya, sekitar dua tahun lalu saat Aga mulai memasuki bangku SMA. Om Darel itu baik, saking baiknya, biaya pajak dan servis motor itu dia yang bayar. Aga hanya perlu merawat, mencuci, dan mengisi bensinnya saja. Akan tetapi, Aga masih belum bisa memanggil Om Darel dengan panggilan Ayah.

Aga memasuki rumah dengan dinding berwarna hijau muda tersebut, rumah dua tingkat dengan desain minimalis yang sudah dia huni selama 18 tahun. Saat melewati ruang tamu, ternyata benar-benar ada Papa di sana. Entah sedang membicarakan apa, Aga langsung menghampiri mereka sambil mengucap salam dan mencium tangan.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam," jawab mereka serentak.

"Loh, kok sendiri? Saga mana?" Tanya Mami Sonya.

"Ada rapat OSIS katanya."

"Yaudah, kamu ganti baju dulu. Terus langsung kesini, yah," titah Eyang Mira.

Tanpa menyapa Papa, Aga langsung berjalan menuju tangga dan memasuki kamarnya. Kamar dengan cat dinding berwarna abu-abu, hasil kerja keras Aga dan Saga. Aga segera membanting tasnya ke kasur, kemudian melepaskan kemeja putih itu dan mengambil asal kaus di dalam lemari, tanpa mengganti celana, Aga langsung turun keruang tamu dan duduk di samping Eyang.

Papa menatap Aga dengan senyum hangat, "Gimana sekolahnya, Ga?"

"Gak gimana-gimana."

Eyang mengikut pelan pinggang Aga, membuat anak itu sedikit meringis.

"Yang sopan."

Anak itu malah terkekeh pelan, kemudian menatap Papa yang berada di hadapannya.

"Mau bicarain apa, Pa?"

Papa diam sebentar, kemudian menghela napas kasar.

"Papa mau minta maaf, buat kejadian waktu itu. Papa gak bermaksud bohongin kamu, tapi waktu itu, Papa ada sedikit masalah sama Mama Trisha. Papa pikir, buat selesaikan masalah itu dulu, baru jemput kamu."

Aga menundukkan kepalanya, semudah itu Papa minta maaf, kemudian mengulangi kesalahan yang sama. Tapi Aga tetap mengangguk, "Iya, gak papa. Semoga masalah kalian cepat selesai."

Papa tersenyum senang mendengar jawaban Aga, kemudian meraih tangan Aga dan menggenggamnya. "Karena itu Papa disini, masalah kami sudah selesai. Jadi, Aga mau kan ikut Papa sekarang?"

Papa benar-benar berharap Aga mau ikut. Sejujurnya, setelah kejadian di pusat perbelanjaan, Papa dihantui rasa bersalah. Apalagi melihat mata Aga yang sedikit berkaca saat itu, namun tidak ada keberanian untuk menunjukkan rasa bersalahnya. Tapi hari ini, dengan tekad yang kuat, Bayu akan mengubah semuanya dan memperbaiki kesalahannya.

Namun senyum itu perlahan sirna saat Aga melepaskan genggaman tangannya. Anak itu menggeleng pelan dengan kepala tertunduk.

"Maaf, Pa, Aga gak bisa ikut."

Eyang Mira dan Mami Sonya saling tatap, mereka pikir Aga akan menerima ajakan Papanya.

Eyang Mira mengelus pelan pundak Aga, "Kenapa gak bisa?"

"Tadi, Mama telpon Aga. Mama bilang, Minggu ini mau ke rumah Oma, Aga di suruh nginep di sana."

Papa Bayu mengangguk singkat dengan senyum yang terkesan di paksakan. Mungkin ini yang sering Aga rasakan, saat dia mencampakkannya.

"Ya sudah, gak papa. Minggu ini, Aga sama Mama dulu. Kalo Mama udah pulang dari rumah Oma, Aga nginep di rumah Papa, ya."

Aga menganggukkan kepalanya dengan semangat, "Iya Pa, kalo gitu, Aga ke atas dulu ya, mau ngerjain PR."

Saat Aga berdiri, tiba-tiba jantungnya berdegup kencang, telinganya berdengung, dan pening mulai menghampiri membuat semua yang dilihatnya terasa berputar, pijakan kakinya goyah seperti sedang gempa, membuat Aga kembali menjatuhkan dirinya ke kursi.

Eyang Mira dan Mami Sonya memekik panik saat darah segar mengalir di hidung Aga, lain halnya dengan Papa, dia malah membatu melihat Aga mimisan di depan matanya. Seperti de Javu, terakhir kali dia melihat Aga mimisan secara langsung adalah tiga tahun lalu. Saat dimana Aga, benar-benar berada di titik terendahnya. Melihat Aga yang mulai lemas di pelukan Ibunya, membuat nalurinya sebagai seorang ayah tergerak, Bayu menghampiri Aga kemudian memeluknya, menangis melihat keadaan putranya. Kenapa harus Aga, yang menerima ganjaran dari kesalahan yang dia perbuat di masa lalu.






Next chapter....


























ABYAN (end)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang