Sembilan

1.2K 128 30
                                    

"Menenggakan rasa dendam. Maaf, aku hanya manusia yang penuh rasa hina," Rajendra Pangestu

Enam laki-laki dengan postur tubuh tak main-main, saat ini berjalan dengan langkah tegap mengisi keheningan setiap lorong sekolah yang mulai sepi.

Dibelakang mereka ada beberapa pasukan yang jumlahnya kurang lebih 50 orang dari kelas yang berbeda di SMA Suka Maju.

Jendra berada paling depan, dengan baju yang berantakan dan sorot mata tajam mengintimidasi setiap tatapan yang mengarah padanya.

Di lengan kanannya terdapat lilitan kain hitam dengan logo Sayap Elang dan tulisan Nawasena dibawahnya.

Jendra mengedarkan pandangannya. Senyum di bibirnya terbentuk kala semua orang menyoraki langkah Jendra dengan sahutan semangat.

Tapi berbeda dengan satu murid perempuan yang kini tengah menghadang Jendra dan semua anggotanya.

Jendra berhenti begitupun dengan yang lainnya.

"Ada apa ?" tanya Jendra kepada Sita, calon istrinya atau lebih tepatnya saat ini tengah menjadi tunangannya.

"Mau kemana ?"

Jendra tersenyum miring. "Perduli?"

"Je," lirih Sita mendapat kekehan keras dari Jendra.

Jendra mendekatkan wajahnya diwajah Sita, menepiskan jarak antara keduanya.

"Apa cantik, hmm?" Jendra merendahkan suaranya.

Sita menelan salivanya keras, aliran hangat mulai merambah memasuki setiap inci tubuhnya. "Jendra, gue tanya lo mau kemana !!"

"Kalau gue mau berantem, Lo mau apa ?"

"Gue bilangin papa Saka!"

Jendra terkekeh keras. Sedangkan pasukan inti dibelakang Jendra hanya mengawasi tak berniat ikut campur urusan keduanya.

"Ngomong aja, lagian papa juga udah gak peduli, yang mereka fikirkan tentang harta dan harta!"

Jendra menegakkan tubuhnya, sedikit menjauh dari Sita. "Pulang gih. Angga udah nunggu kayaknya di depan."

"Jendra!"

"Apa cantik? Cantiknya Jendra yang hanya katanya, tapi entah gimana perasaannya."

Sita menarik nafasnya. Dadanya mulai sesak oleh tinjuan setiap kata dari bibir laki-laki bajingan itu.

Kenapa Jendra menjadi dingin seperti ini kepadanya ?

"Jendra jangan pergi," lirih Sita kembali.

Jendra mengangguk pelan, bibirnya terangkat tapi dengan senyum yang meremehkan, kaki jenjangnya melangkah mendekati Sita. "Kalau misalkan gue nyuruh Lo jangan deketin Angga, Lo sanggup?"

Sita terdiam, bibirnya seketika terkunci, lidahnya seolah kelu dibuat oleh pertanyaan dari Jendra.

Jendra kembali mendekatkan wajahnya di telinga Sita. "Gak usah halangin gue ya sayang. Jendra gak akan mati cepet. Seorang laki-laki tengil kayak gue matinya itu lama."

JENDRA  (Revisi) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang