"Upacara keberangkatan ke masa lalu akan segera dimulai."
Pengumuman itu adalah permulaan dari sebuah alasan adanya kerumunan massa di aula yang cukup luas. Bagian dalam bangunan ini berbentuk persegi dengan salah satu sisinya lebih tinggi dibandingkan dengan sudut-sudut yang lain. Terdapat mimbar yang masih belum digunakan di atas sana.
Ruangan ini begitu besar dengan kapasitas hampir empat ratus orang. Ornamen-ornamen hologram di penjuru dinding menampilkan sosok seseorang rupawan dengan kalimat yang penuh semangat serta gambaran bumi yang biru di belakang. Tak lupa, belasan drone yang berputar-putar ikut meramaikan suasana dengan menyemburkan konfeti di udara. Sorak-sorai begitu riuh terdengar dari seluruh hadirin yang menunggu acara dimulai.
Beberapa drone untuk awak media yang juga menyebar di berbagai penjuru mencari sudut pandang yang optimal dan representatif untuk liputannya. Siapapun tahu jika peristiwa ini adalah langkah bersejarah untuk kelangsungan hidup umat manusia.
Sesosok pria berjalan menuju mimbar yang telah dipersiapkan. Ia melakukan beberapa sentuhan di mimbar tersebut dan menyalakan layar proyeksi super lebar yang berada di belakangnya.
Dari sekian ratus orang yang duduk di kursi masing-masing, hanya lelaki itu seorang yang berdiri sebagai pusat perhatian. Ia menarik napas panjang dan menyiapkan tenggorokannya sebagai pertanda dimulainya acara ini.
"Saudara-saudara sekalian! Terima kasih telah hadir di tempat ini. Kita akan mengingat bahwa keberadaan kalian di sini merupakan salah satu penentu nasib bumi ke depannya!"
Gemuruh tepuk tangan dan teriakan mengelu-elukan kembali terdengar. Sang orator membungkukkan diri untuk menanggapi rasa puas yang muncul dari semangat hadirin yang begitu menggebu. Ia tersenyum lalu berdehem untuk mengambil alih perhatian kembali.
"Sebagaimana yang kita ketahui, bumi telah mencapai titik penghabisannya. Berkat ketidakpedulian dan keangkuhan kita sebagai manusia, planet ini mengalami konsekuensi yang sangat berat. Perang, eksploitasi sumber daya berlebihan, serta sistem kapitalis yang tidak mengenal batas merupakan sumber utama penyakit Bumi. Sekarang, rumah kita satu-satunya di tata surya ini akan mengalami kehancuran! Lihat saja kenyataan yang sudah terjadi. Manusia hanya bisa bertahan hidup di bawah kubah oksigen buatan. Tak ada lagi ekosistem alami dan asri di luar sana. Hanya ada udara dengan tingkat pencemaran sangat tinggi yang akan menyambut kita!"
Munculah lagi berbagai eluan senada dengan ucapan sang orator barusan yang memasuki sanubari bagi siapapun yang mendengarnya. Seorang gadis dengan rambut kecoklatan yang panjang sampai punggungnya tengah duduk manis dan berusaha untuk fokus melalui netranya agar bisa lebih memerhatikan bagaimana sosok lelaki di mimbar itu mampu menarik simpati dengan mudah. Satu hal yang yang begitu terlihat oleh orang lain saat melihat sang gadis adalah hiasan rambut berbentuk ice cream cone dengan pondasi warna yang mirip dengan aslinya.
"Karena itu, kita sebagai umat manusia yang menyebabkan semua ini harus bertanggung jawab atas perbuatan kita! Umat manusia telah sepakat bahwa satu-satunya cara untuk menyelamatkan kondisi bumi di kondisi seperti ini dengan kembali ke masa lalu. Di zaman itu, kita akan melaksanakan misi kita sehingga takdir kehancuran tidak akan terjadi kepada planet hunian tercinta ini!"
Sang orator membuka salah satu lengannya lebar-lebar dengan tangan yang satu lagi berada di dada.
"Keberangkatan kita ke masa lalu ini adalah misi kemanusiaan. Demi Bumi yang lebih baik! Demi langit biru yang cerah warisan nenek moyang! Demi kelangsungan hidup kita semua!"
"Setuju!"
Semua orang yang hadir telah membulatkan tekadnya untuk menjalankan misi penebusan atas apa kesalahan oleh umat manusia. Beberapa dari mereka sampai berdiri untuk menunjukkan keseriusan mereka. Kecuali, gadis dengan jepit rambut es krim tadi yang lebih memilih untuk duduk saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Es Krim Untuk Bumi
Science FictionBumi sudah di ujung tanduk. Berkat keserakahan manusia, planet hunian ini sudah tak layak ditinggali. Untuk tetap bertahan, manusia harus mencari jalan keluar meski hal itu adalah sesuatu yang mustahil. Maka, diambillah keputusan untuk mengirim rib...