Untuk yang kesekian kalinya, Rio mengeluarkan nafas panjang dengan sendirinya. Tatapannya begitu lesu dan langkahnya gontai. Sama sekali tidak mengeluarkan aura kehidupan jika Valerie boleh berkomentar.
Lelaki berambut acak itu memerhatikan sahabatnya yang masih mengeluarkan nafas berat ketika sedang mengambil air minum, menduga-duga apa yang terjadi dengan Rio sampai ia bersikap seperti itu.
"Bro. Gelasmu tumpah, tuh." Valerie mengingatkan.
"Hah? Oh—ah! Yah, tumpah!"
"Makanya kalau mengambil air minum mohon dilihat. Kepikiran apa, sih?"
"Iya, iya. Bawel."
"Malah marah-marah. Lagi PMS? Bodo, ah. Aku mau cabut dulu. Bye."
Valerie mengambil tasnya dan keluar dari ruangan kerja dengan terburu-buru. Rio yang melihat temannya menghilang dengan begitu cepat sama sekali tak peduli. Ia berjalan ke mejanya dan meminum gelas penuh air itu dengan tiga kali tegukan.
Kemudian, ia menghela nafas lagi. Kepalanya masih tidak bisa lepas dengan jawaban menggantung Arisa di kala sore itu.
Rio memandangi mejanya yang sudah rapi. Ia memeriksa meja-meja lain yang kosong dan kemudian melihat jam dinding yang menggantung.
"Semua sudah pulang. Tidak ada jadwal lembur pula untuk hari ini."
Lebih baik pulang saja, lanjutnya di dalam hati.
Sore itu, Rio bergegas kembali ke rumah ketika suasana di balai kota sudah sangat sepi. Hanya beberapa orang dan penjaga saja yang berlalu lalang ketika mereka menyapa pemuda itu.
Tak lama kemudian, Rio telah tiba di rumahnya. Ia kembali menghela nafas sebelum membuka pintu.
"Aku pulang," salam si lelaki kepada penghuni rumah, yang hanya terdapat Vemia dan Arnando.
"Kak Rio sudah pulang," sahut Arnando, yang dibalas oleh lambaian tangan oleh kakaknya.
Tidak seperti biasanya, Vemia memerhatikan gerak-gerik kakaknya dengan begitu detail sampai-sampai Rio merasakan jelas kalau sedang diawasi apapun kegiatannya—mengobrol dengan Arnando, sekedar mengambil minuman dingin di dapur, atau menonton televisi.
Mata Vemia selalu menempel kepadanya, ke mana pun Rio pergi di dalam rumah. Memang bukan berarti adik perempuannya selalu mengikuti dari belakang ketika Rio sedang berjalan, hanya jika ia berada di jarang pandang Vemia saja. Namun, lama-kelamaan lelaki itu merasa risih dan menghadap langsung kepada Vemia.
Saat itu tidak ada seorang pun yang terlihat. Hanya Vemia seorang yang tengah menonton televisi. Tetapi, Vemia langsung menoleh ketika ia menyadari Rio berada di ruang keluarga yang tengah memeriksa keadaan di luar rumah melalui jendela.
Tentu pemuda itu sadar jika Vemia masih terus memerhatikannya.
"Hei, Vemia. Apa ada yang ingin kamu katakan?" sapa Rio dengan hati-hati.
Gadis kecil itu masih mematung, memerhatikan kakaknya dengan seksama sampai Rio merasa canggung sendiri.
Tiba-tiba ada rasa pusing yang mengacaukan kepala Vemia, sampai-sampai salah satu matanya refleks berkedip karena sensasi yang tiba-tiba itu.
"Ugh!"
"Vemia?!"
Daripada sebuah rasa pusing, akan lebih tepat disebut sebagai perasaan asing ketika ingatan seseorang bercampur aduk dan memutar-mutar di kepala sehingga Vemia merasa cukup nyeri di ubun-ubunnya. Ia berusaha menahan rasa yang menekan itu tapi percuma.
Rio yang melihat itu segera mendekat.
"Vemia? Akan kupanggilkan ambulans sekarang juga!" seru Rio.
"Tunggu! Tunggu sebentar... rasanya sudah mulai membaik... ah..."
Vemia masih menunduk kebawah, seperti sedang menahan rasa nyeri itu. Sedangkan, Rio merasa cemas dan menunggu reaksi dari adiknya untuk benar-benar memanggil ambulans kemari.
Namun, rasanya memang tak diperlukan ketika ia melihat Vemia yang perlahan-lahan kembali berdiri dan memandanginya kembali.
"Kakak... kamu siapa? Kenapa kamu ada di dalam rumahku?" tanya Vemia dengan nada curiga.
Pertanyaan itu membuat Rio terdiam seribu bahasa.
--o--
"Kau lihat, Adel. Perjalanan masa lalu orang-orang itu telah sukses dilakukan. Sekarang, kita yang akan turun untuk menggagalkannya."
Seorang lelaki dengan surai sebahu kecoklatan berjalan mendekati tabung setinggi ukuran manusia rata-rata. Ia membaca informasi terkait dengan kondisi dari tabung berwarna putih tersebut dari proyeksi cincin komunikasinya. Meski ruangan ini begitu gelap tanpa adanya pencahayaan, ia masih bisa melihat obyek di depannya dengan jelas.
"Jangan salah. Aku tak berkewajiban untuk membantumu. Kita sama-sama perlu untuk pergi ke masa lalu, itu saja." Gadis yang berdiri di sebelah lelaki itu memerhatikan tabung perjalanan ke masa lalu miliknya pula. Ia mengenakan gelap tipis, celana pendek dan syal hitam. Rambutnya yang panjang kelam sampai pinggulnya terlihat sedikit kusut, namun ia tak memusingkannya.
Sejauh yang gadis itu tahu, tak ada perbedaan sama sekali dengan tabung yang baru saja diperiksa oleh lelaki tersebut menggunakan kacamatanya.
"Hmph! Tujuan akan lebih cepat dicapai bersama jika kita saling bahu-membahu."
"Aku tak mau mendengar itu darimu, Johann," cibir Adel, "kita akan berpencar, tapi tak menutup kemungkinan kalau aku berkunjung ke kota tujuanmu nantinya."
"Begitu. Tak masalah. Akan kunanti dirimu kalau kau berkunjung ke kota Tantoris."
"Baik, baik. Ayo kita lekas pergi."
Kedua tabung itu membuka tabir kacanya bersamaan dengan asap steril yang keluar dari dalam, menyelimuti ruangan gelap ini. Johann dan Adel melangkah dengan hati-hati untuk masuk ke dalam sesaat sebelum pintu kaca itu tertutup lagi.
Perjalanan waktu akan segera mulai ketika Johann kehilangan kesadarannya. Untuk terakhir kalinya, ia memandangi ruang gelap yang terlihat dari dalam tabung ini menembus tabir kaca sebelum kesadarannya melesat ke masa lalu.
Ia mengingat kembali alasannya untuk menjelajah waktu. Yaitu untuk menggagalkan proyek umat manusia ini.
Apapun yang terjadi, perjalanan masa lalu harus dihentikan.
"Huh...?"
Johann membuka matanya ketika ia beranjak duduk di kasur. Kesadarannya masih belum sepenuhnya berkumpul di kepalanya setelah transmisi masa lalu yang instan itu.
Pandangannya masih berputar-putar saat ia melihat sekeliling. Sejenak, ia menutup matanya untuk mengatur nafasnya sampai ia merasa lebih baik.
"Ruangan ini... benar-benar tidak familiar."
Sejauh mata memandang, beberapa perabotan mengisi ruangan tidurnya. Ia berjalan membuka kain jendela dan langsung diterpa oleh cahaya hangat yang membuatnya menutup mata.
Setelah menyesuaikanJohann mengetuk cincin informasinya untuk mengeluarkan tampilan kecil yang menunjukkan tanggal hari ini beserta cuaca serta data-data relevan lainnya. Ketika ia membaca informasi yang muncul, lelaki itu menyeringai kecil.
"Kita telah tiba dengan selamat. Mari selanjutnya aku melakukan hal yang harus kulakukan. Hmm..."
Hanya dalam satu ketukan, seketika ruangan ini penuh dengan tampilan hologram yang penuh dengan berbagai macam informasi. Sebuah data yang bergerak naik turun, layar monitor yang menampilkan suatu tempat di kota Tantoris, serta tulisan-tulisan rumit yang terus bergerak tanpa henti.
"Akan kubuktikan jikaperjalanan ke masa lalu adalah sebuah kesalahan!"

KAMU SEDANG MEMBACA
Es Krim Untuk Bumi
FantascienzaBumi sudah di ujung tanduk. Berkat keserakahan manusia, planet hunian ini sudah tak layak ditinggali. Untuk tetap bertahan, manusia harus mencari jalan keluar meski hal itu adalah sesuatu yang mustahil. Maka, diambillah keputusan untuk mengirim rib...