"Bagaimana kabarmu akhir-akhir ini, Arisa?"
"Cukup baik. Kehidupan sekolah di masa ini memang menyenangkan," jawab Arisa.
Mereka berdua sedang duduk di gazebo untuk para pengunjung bendungan sembari mengawasi adik masa lalu masing-masing. Vemia mengajak Vanilla untuk berputar kembali dan menikmati pemandangan matahari senja.
"Tetapi, barusan aku tak menyangka jika kamu mengenalkanku kepada Vemia sebagai salah satu orang yang berasal dari masa depan."
"Sesuai yang kuceritakan tadi, karena catatan masa lalu-ku yang tidak stabil berujung pada Vemia mengetahui identitasku sebenarnya. Lalu, ia minta penjelasan yang masuk akal atas keberadaanku di tengah-tengah keluarganya."
Arisa mengangguk-angguk. "Tetapi, aku rasa tidak perlu juga kamu membocorkan siapa lagi yang datang di masa ini selain kamu, Rio."
Rio mengalihkan wajahnya. "Kalau soal itu...aku sedikit panik. Jadi, tak sengaja menyinggung keberadaan sukarelawan yang lain juga."
"Dasar. Baguslah jika Vemia adalah anak yang baik, sehingga rahasia kita masih tetap aman. Bayangkan jika dia bukan orang yang seperti kamu anggap selama ini dan membocorkan semuanya kepada semua orang," tukas Arisa.
"Aku tahu. Bisa dibilang jika aku cukup beruntung karena yang mengetahui identitasku adalah Vemia," Rio menghela nafas pendek, "untuk sekarang, kita tak perlu khawatir akan identitas kita. Vemia juga cukup membantuku dalam kontribusi untuk misi. Toh, aku tidak bisa berpura-pura lagi di hadapannya karena Catatan Masa Lalu-ku sudah tak berfungsi untuknya."
"Kenapa bisa begitu, ya? Aku rasa, ilmuwan cukup lambat dalam menangani hal ini."
"Sejujurnya aku sudah lupa jika kita pernah mengirimkan laporan terkait dengan hal ini ke masa depan. Toh, Catatan Masa Lalu-ku masih berfungsi dengan baik kecuali untuk Vemia. Bagaimana dengan punyamu?"
"Masih tidak stabil sampai saat ini. Tetapi, aku sudah terbiasa dengan hal itu." Arisa tersenyum getir.
"Aku berharap jika kamu tetap berhati-hati. Karena efek tidak stabilnya Catatan Masa Lalu-mu cukup besar, Arisa."
"Tak perlu khawatir soal itu. Aku tahu betul apa yang harus dilakukan."
Rio tersenyum menanggapinya. Saat pemuda itu melihat ke mana Vemia dan Vanilla berada, mereka sedang sibuk membicarakan tentang kawanan burung yang baru saja melintas di atas bendungan menuju selatan kota. Rio tebak, pasti Vemia memberikan beberapa trivia terkait kawanan tersebut kepada gadis yang lebih muda beberapa tahun darinya.
"Rio, aku meminta maaf karena menolak perasaanmu saat itu."
Lelaki itu memandang Arisa dengan ekspresi yang sulit untuk dijelaskan. Lebih tepatnya, ia juga tak tahu harus membalas apa dengan kalimat yang tiba-tiba mengungkit peristiwa ketika hatinya terlukai seperti itu.
"Aku tahu bagaimana berartinya perasaanmu itu. Kamu bilang sendiri jika selama ini kamu mencariku, kan? Terdorong oleh perasaan itu semenjak kecil, aku yakin kalau hal itu benar-benar cukup berarti bagimu. Tetapi, aku menolaknya karena memang aku tidak berperasaan yang sama denganmu. Aku juga tidak berniat sama sekali untuk menjalani hubungan yang dekat seperti berpacaran," ujar Arisa panjang lebar tiba-tiba.
"Ah, soal itu..." Kalimat Rio terhenti karena ia tak yakin, apakah yang seperti itu perlu dimaafkan atau tidak. Otaknya hanya menangkap separuh dari apa yang dikatakan oleh Arisa. Antara perasaan dan pikirannya masih belum singkron sehingga susah untuk mencerna apa maksud gadis itu.
Rio berpikir penolakan itu adalah sikap Arisa yang tidak memiliki perasaan yang sama dengannya. Lagipula, diterima dan ditolak adalah dua sisi yang tak bisa terpisahkan jika seseorang memutuskan untuk mengutarakan perasaannya. Pemuda tidak bisa membayangkan bagaimana jika gadis itu menerima perasaannya hanya karena merasa kasihan, bukan karena Arisa memang menyukainya balik.

KAMU SEDANG MEMBACA
Es Krim Untuk Bumi
Science FictionBumi sudah di ujung tanduk. Berkat keserakahan manusia, planet hunian ini sudah tak layak ditinggali. Untuk tetap bertahan, manusia harus mencari jalan keluar meski hal itu adalah sesuatu yang mustahil. Maka, diambillah keputusan untuk mengirim rib...