Kedua insan itu jalan berdampingan, menyusuri trotoar sore hari dengan santainya. Beberapa orang lainnya juga saling berpapasan, sebagian masih mengenakan seragam meski sudah sedikit kendur. Beberapa calon pembeli juga terlihat mengerumin suatu toko yang dengan aktif mempromosikan barang dagangannya. Sebagiannya lagi sekedar bersantai di beberapa café kecil di komplek pertokoan ini.
Udara sejuk dan angina sepoi-sepoi mengundang kantuk Rio kembali. Agaknya, lelaki itu sempat terlupa jika kemarin malam tidur kurang nyenyak. Ia menggosok matanya perlahan agar memberi sedikit rangsangan untuk indera penglihatnya agar terus terbuka.
Pemuda itu menghirup dalam-dalam dan menghembuskan nafasnya. Tak lama kemudian, ia tersenyum simpul merasakan bagaimana segar dan sejuknya hawa di kota Tantoris ini.
"Kita mau ke mana?" tanya Rio karena seingat dia, Rita belum menyebutkan tujuannya.
"Ke toko tanaman hias. Ada yang harus aku ambil sore ini," jawab Rita.
Pemuda itu terkekeh pelan. "Rita sekali, ya."
"M-maksudnya bagaimana, Rio?"
"Tidak. Memang khas Rita sekali. Tak usah dipikirkan. Oh, ya. Kira-kira apa yang kamu beli dari toko itu?."
"Sebuah—" sebelum Rita menyelesaikan kalimatnya, ia tersenyum simpul, "nanti kamu tahu sendiri, Rio."
"Ah, kamu membuatku penasaran," Rio tak terima. Namun, Rita hanya terkekeh misterius saja.
Mereka berjalan menyusuri trotoar sembari membicarakan hal lain. Obrolan ringan yang saling memberikan kehangatan satu sama lain, atau hanya sekedar gurauan kecil telah mengisi waktu di antara mereka berdua. Intensitas Rio bertemu dengan Rita tak begitu banyak, sehingga terdapat banyak hal yang bisa diceritakan.
"Tiba-tiba jadi teringat waktu-waktu kita di sekolah," ujar Rita.
"Yang seperti apa?"
"Ketika Valerie membawamu masuk ke dalam green house sekolah dan menemuiku yang berada di situ sendirian."
"Oh, waktu itu Valerie penasaran karena kita belum pernah masuk ke dalam. Begitu kita masuk dan hanya menemuimu di dalam, Valerie mengajakmu berkenalan," tambah Rio.
"Sejak saat itu, kamu selalu menyapaku ketika kita bertemu di perpustakaan."
"Karena kita berteman, kan?"
"Hehe. Aku juga ingat di mana kita melakukan piknik di dalam greenhouse," ungkap Rita.
"Itu karena Val yang mengusulkan demikian, bukan? Benar-benar di luar dugaan."
"Tetapi, menurutku cukup menyenangkan. Aku tidak pernah melakukan hal yang seperti itu jadi rasanya sungguh mendebarkan."
"Sebenarnya aku juga merasa demikian kala itu," Rio menambahkan.
Mereka berdua saling tertawa renyah. Ingatan itu kira-kira terjadi setahun yang lalu, tidak begitu lama. Namun, mengingat-ingatnya saja sudah cukup menyenangkan.
Langkah gadis itu terhenti di suatu kios sederhana yang menjual potongan daging ayam sebagai cemilan. Rita mendekat untuk memesan satu yang kemudian diterimanya tak lebih dari lima menit.
"Kamu mau mencicipinya, Rio? Cukup enak buatku," tawar Rita setelah mengunyah cemilannya.
Asap mengepul tipis yang berasal dari dalam kantong kertas menyita perhatian Rio. Beberapa potongan daging ayam di dalamnya terlihat cukup sayang untuk dilewatkan. Sehingga, lelaki itu memutuskan untuk mencicipinya sedikit saja.
"Hmm!"
"Bagaimana?" Rita menjadi ragu-ragu dengan opininya barusan.
"Iya, sesuai katamu. Cukup oke, Membantuku memikirkan sesuatu," Rio menyimpulkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Es Krim Untuk Bumi
Science FictionBumi sudah di ujung tanduk. Berkat keserakahan manusia, planet hunian ini sudah tak layak ditinggali. Untuk tetap bertahan, manusia harus mencari jalan keluar meski hal itu adalah sesuatu yang mustahil. Maka, diambillah keputusan untuk mengirim rib...