Langit hari ini begitu cerah, begitu biru dan memilaukan. Sesaat, kumpulan awan yang sedang lewat membentuk suatu motif yang dengan mudah dikenali—sebuah beruang. Bentuknya menyerupai binatang mamalia berbulu itu meski dengan komposisi kepala yang lebih besar dibandingkan lainnya.
Gadis itu mengangkat tangannya, seperti menorehkan garis imajiner agar bentuk beruang itu lebih tampak nyata kepadanya. Kemudian, ia berusaha mendorong awan yang lain bergerak mendekati awan beruang tersebut melalui tangannya.
Memang tidak ada hubungannya antara pergerakan awan dengan gerak jari seseorang, tapi patut dicoba, pikirnya.
Sang gadis berusaha keras untuk mendorong awan itu dari ruangan tempatnya duduk memandang jendela ke luar. Jemarinya semakin bergerak cepat ke kanan dan kiri dengan harapan gumpalan awan itu akan bertemu dengan awan beruang.
Namun, segala usahanya untuk mempertemukan kedua awan itu tidak membuahkan hasil. Malah gumpalan awan itu bergerak menjauhi dari awan beruang yang sedang menunggu.
"Yah."
Sejauh yang ia ingat, memang tidak ada orang yang mampu menggerakkan awan di langit hanya dengan menggunakan jari. Sehingga, ia tidak terlalu menyesali usahahnya yang sia-sia.
Sekarang gadis itu melihat ke arah utara—sebuah bendungan besar. Jaraknya memang cukup jauh dari sekolah yang ruang kelasnya ia masuki sekarang. Namun, berkat absennya gedung-gedung pencakar langit, ia mampu melihat beton-beton penahan air dari bangku kelasnya.
Cukup besar sampai terlihat dari sini, batinnya.
Memang sebelumnya ia sudah mengetahui informasi tentang kota ini yang mempunyai bendungan besar di dekatnya. Namun, melihat secara langsung seperti ini memberikan pengalaman baru bagi sang gadis.
Terbesit rasa penasaran untuk datang ke sana dalam waktu dekat.
"Arisa!"
"Guh! Nita?" Arisa menoleh untuk menemui kedua orang temannya. Seseorang dengan rambut kuncir kuda yang namanya Nita. Sedangkan gadis dengan surai legam rapi dengan panjang sampai bahunya bernama Tesa.
"Betul, yang barusan menampar bahumu adalah Nita. Aku sama sekali tidak ikut campur."
"Padahal yang menyarankan untuk memukul bahu Arisa dari belakang kan kamu," sergah Nita cepat.
"Ah, bukan. Itu cuma bercanda!" bela Tesa.
"Aku kira serius!" tegas Nita.
"Awawawa..."
Arisa mencoba untuk mengeluarkan tawa datar sebagai reaksi dari apa yang teman-teman sekolahnya lakukan. Tak masalah baginya untuk teman-temannya menyapa seperti itu. Toh, pengalaman mempunyai teman sekelas dalam mengenyam pendidikan sudah lama tak ia rasakan sejak ia keluar dari sekolahnya di masa depan.
Sudah beberapa hari sejak pertemuan Arisa dengan Nita dan Tesa, sehingga gadis itu sudah cukup terbiasa dengan tingkah laku mereka berdua. Terlibat secara langsung dengan mereka berdua cukup menarik bagi Arisa.
"Jadi, tadi pagi kita tadi sudah janjian mau ke café. Yuk berangkat sekarang!" seru Nita
"Café yang di bagian kota timur itu. Cukup terkenal dengan aneka sajian yang murah, sesuai dengan kantong pelajar." Tesa menambahkan.
"Toh, sudah lama juga kita tidak ke café. Anak sekolahan juga butuh refreshing dong!"
"Mengenai hal itu, aku punya usul lain. Bagaimana kalau kita ke bendungan saja? Aku sungguh penasaran dengan tempat itu." Arisa mengangkat tangannya sepeti layaknya murid yang memberikan jawaban di depan kelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Es Krim Untuk Bumi
Ficção CientíficaBumi sudah di ujung tanduk. Berkat keserakahan manusia, planet hunian ini sudah tak layak ditinggali. Untuk tetap bertahan, manusia harus mencari jalan keluar meski hal itu adalah sesuatu yang mustahil. Maka, diambillah keputusan untuk mengirim rib...