Pagi ini cukup cerah ditemani dengan kicauan burung yang memanjakan telinga Valerie. Lelaki pirang itu menyiapkan secangkir kopi hangat dan meletakkannya di meja kerjanya sebelum ia duduk dengan santai.
Valerie menghirup lembut aroma kopinya dan menghembuskannya perlahan. Senyuman lebar terukir di wajahnya saat ia menyeruput minuman gelap itu. Perlahan, cairan pahit keasaman itu mengalir di mulut dan tenggorokannya.
"Ah, sempurna."
Sangat kontras dengan apa yang terjadi di meja sebelah. Rio memandang layar monitornya dengan tatapan seperti ikan mati. Jemarinya bergerak otomatis untuk membuka beberapa file pekerjaannya. Tetapi, ia hanya memandanginya saja. Tidak membaca, hanya termenung.
Kemudian jarinya menggerakkan tetikus untuk menutup file itu untuk membuka file yang lain. Namun, otaknya belum sepenuhnya berfungsi sehingga Rio masih memandangi monitor itu untuk beberapa belas menit ke depan.
Sahabat lelaki dengan tatapan kosong itu melirik ke mejanya. Ia menyeruput kopinya sekali lagi sebelum memulai untuk membuka data yang diperlukan untuk memulai kerja pagi ini. Valerie beranggapan jika Rio tidak memulai dulu untuk menceritakan penolakan itu duluan, ia akan diam saja untuk sementara waktu agar tidak menyinggung perasaannya.
Paling tidak, aku ingin tahu bagaimana Rio jika patah hati seperti ini, ujarnya di dalam hati dengan rasa penasaran dan usil tergabung jadi satu.
Jadi, lelaki pirang itu memutuskan untuk mengamati bagaimana kondisi Rio sampai ia curhat dengan kemauan sendiri. Tetapi, setelah beberapa hari terlewati selama pengamatannya terhadap pemuda itu, Valerie sempat tertawa datar.
Beberapa kali Rio kena omelan atasannya karena ia tidak seproduktif sebelumnya. Laporan yang terlambat, detil pekerjaan yang sering salah, serta beberapa hal lainnya yang juga memberatkan Valerie secara langsung. Pernah sekali, Rio menumpahkan kopinya sampai ke lantai karena ia tidak perhatian.
Lelaki pirang itu sampai menepuk dahinya sendiri.
"Ah, Rio ternyata payah sekali, ya..."
"Apa katamu?" Rio menangkap gumaman lirih Valerie.
Ia merangkul tubuh Rio dan mendekatkan bibirnya di telinga Rio. Toh, kerjaan sedang tidak begitu banyak dan atasan mereka berdua tidak terlihat di ruangan ini.
"Aku bilang kamu payah, tahu!"
Tersentak, Rio langsung melepaskan diri dari rangkulan Valerie. dan menutupi telinganya.
"Apaan, Val?"
"Kenapa payah sekali, kamu itu. Siapapun bisa bilang kalau ada yang tidak beres denganmu beberapa hari terakhir ini? Kenapa? Ada sesuatu yang terjadi saat aku meninggalkanmu berdua dengan Arisa?"
"I-itu..."
"Bullseye, huh? Ternyata memang ada sesuatu. Ayo, ceritakan semuanya padaku. Aku akan mendengarkan siapapun yang curhat kepadaku. Meski, aku bisa menebak apa yang akan kamu beritahukan."
Rio menggigit bibir bawahnya perlahan. Lalu, Valerie menyiapkan tempat duduk di hadapan mejanya seperti menyiapkan kursi pasien sebelum duduk di kursinya sendiri.
Rio duduk dengan menunduk ke bawah, melihat lantai ia tak mampu memandang Valerie yang berada di depannya. Tak lama kemudian, ia mengalihkan pandangan menuju arah lain. Yang penting tidak melihat lelaki pirang itu.
Valerie mendengus.
"Rio, kamu tidak mau cerita padaku, seorang temanmu yang sudah bersama selama beberapa tahun?" pinta Valerie.
Diminta seperti itu sempat membuat Rio sadar jika temannya itu ingin membantunya. Setelah mengatur hatinya kembali, baru ia bisa menatap Valerie sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Es Krim Untuk Bumi
Science FictionBumi sudah di ujung tanduk. Berkat keserakahan manusia, planet hunian ini sudah tak layak ditinggali. Untuk tetap bertahan, manusia harus mencari jalan keluar meski hal itu adalah sesuatu yang mustahil. Maka, diambillah keputusan untuk mengirim rib...