"Jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan hanya dari apa yang tampak sekilas" —Devon Wirawan
“Ibu udah gapapa?” tanya seorang gadis dalam sebuah kamar yang tampak kecil. Mungkin rumah yang di tempatinya sangat sederhana dan tak akan ada yang menyangka bahwa gadis sepertinya tinggal di rumah se kecil ini, namun kehangatan selalu menemani penghuninya.
Wanita paruh baya seumuran dengan Mami Shifwa itu tersenyum lembut seraya memegang dada kirinya yang masih terasa sedikit nyeri. “Lena gak usah khawatir.”
Tanpa aba-aba Alena masuk ke dalam dekapan wanita yang ia panggil Ibu itu. “Lena akan kerja keras biar Ibu bisa operasi. Percaya sama Lena, Ibu pasti sembuh!”
“Ibu percaya.” Lia membalas pelukan Alena. “Tapi kamu jangan ngelakuin yang aneh-aneh. Jangan terlalu dekat berhubungan sama Ayah kamu, Lena, Ibu merupakan salah satu korban dari dia,” peringat Lia yang mengetahui bahwa putri tunggalnya sering bertemu dengan Ayahnya diam-diam.
Alena menghembuskan napas berat. “Itu satu-satunya cara, Bu. Cuma Ayah yang bisa bantuin kita.”
“Ibu gak mau kamu kenapa-kenapa. Dan Ibu gak mau menerima bantuan sepeser pun dari lelaki berengsek itu!”
Alena semakin mengeratkan pelukannya pada Lia yang mulai brutal karena amarah. “Lena janji, Bu, Lena bisa jaga diri. Cuma itu satu-satunya cara biar Ibu bisa operasi. Lena gak mau ditinggalin Ibu.”
“Mungkin itu juga salah satu bentuk tanggung jawab Ayah karena gak menikahi Ibu, dan malah menikah dengan Ibu dari rival Alena.”
***
Kamar Via sudah seperti kapal pecah tak berbentuk. Semua barang dan pecahan kaca berserakan dimana-mana, bahkan sprei yang harusnya membalut kasur kini sudah hilang entah kemana.Wanita paruh baya yang nampak masih awet muda itu meringkuk di sudut kamar dengan telapak tangan yang terluka dan wajah sangat kacau. Ia benar-benar belum bisa menerima kehidupannya yang sekarang karena telah hancur berkeping-keping akibat lelaki berengsek yang bernama Drendra.
Bi Uni datang membawa nampan berisi segelas air dan dua butir obat depresi. Sudah lama Via mengkonsumsi obat itu karena kondisinya semakin tak bisa dikontrol.
Via menelan obat tersebut dibantu dengan air, setelahnya ia bisa menghirup udara dengan normal tidak seperti tadi. Emosinya pun perlahan mereda.
“Nyonya istirahat di kamar tamu, biar saya beresin dulu ini semua,” suruh Bi Uni pelan. Via menurut, kemudian melangkah gontai menuju kamar tamu.
Sementara di kamarnya sendiri, Shifwa berbaring di kasur dengan posisi telentang. Matanya terpejam, seraya terus menghayati lirik-lirik lagu yang terputar di airpodsnya.
Dan kau wujudkan mimpi yang terindah
Di setiap malam
Agar aku tersenyum
Terjaga dari tidurkuDan kau jadikan ku Ratu
Di kerajaan cintamu
Agar aku pun bahagia
Hidup bersama denganmu selamanya....Shifwa tersenyum getir, mengapa ia tak bisa merasakan diperlakukan layaknya Ratu oleh Ayahnya seperti yang dialami penyanyi lagu tersebut? Shifwa iri.
“Psst! Psst!” seseorang berbisik memanggil Shifwa dari jendela yang kebetulan belum ia tutup. Karena memakai airpods, tentu saja Shifwa tak mengetahuinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SHIFWA
Teen FictionSepi, sunyi, senyap. "Sangat menenangkan." "Aku benci semua orang!" "Semua orang membenciku ..." "Aku ingin mati!" "Aku tidak ingin mati ..." Tentang Shifwa Drendra Viandra. Gadis yang dikelilingi banyak orang namun masih merasa sendiri sepanjang hi...