8.Awal Mula kejujuran

65 22 25
                                    

"Home, like not home for me" —Shifwa Drendra Viandra

Warna keperakan yang berasal dari cahaya bulan malam itu memantul dengan lembut di atas permukaan kolam kecil yang terdapat beberapa ikan hias. Riak-riak yang tercipta dari gerakan ikan-ikan tersebut menggoyangkan bayangan bulan sehingga membuatnya tampak hidup. Keheningan atmosfer hanya dihiasi gemerisik lembut kain pakaian yang bergesekan saat tubuh bergerak dan desir halus angin malam yang melewati celah dedaunan.

Ardhi berjalan mendekat ke samping pembatas kolam, menempatkan dirinya di atas rerumputan hijau yang dirawat dengan baik. Gadis yang datang bersamanya masih asyik mengamati suasana di sekitar, sepertinya tempat seperti itu sangat memenuhi seleranya. Shifwa menyapukan pandangannya ke setiap sudut, sesekali tubuhnya ikut berputar.

Beberapa saat kemudian, Shifwa sadar bahwa Ardhi sudah tidak berada di dekatnya. Segera saja, dia duduk di sisi kanannya. Keduanya sama-sama diam, sibuk bergelut dengan pikiran masing-masing. Hingga akhirnya Shifwa mengatakan sesuatu yang semakin membuat Ardhi tergerak untuk menjaga gadis yang selama ini disukainya.

"Rumah bukan rumah untuk gue, Dhi. Gue seolah-olah bukan anak dari nyokap bokap gue," ujar Shifwa yang mulai jujur pada Ardhi. Hanya Ardhi, Shifwa tak pernah mengatakan hal yang dialaminya di rumah kepada Ellina dan teman-teman yang lainnya meskipun mereka sudah berteman lama.

Ardhi yang mendengar topik kali ini cukup tertarik dan penasaran. Satu langkah lebih jauh, pikirnya. Dia segera memutar kepalanya ke arah Shifwa "Gue bersedia dengerin cerita lo. Tapi kalau memang lo belum siap dan belum percaya sama gue, nggak masalah."

"Gue boleh pinjam bahu lo?"

"Mau sekalian diambil sama hatinya juga boleh." Guyonan Ardhi menyebabkan Shifwa tersenyum, manis sekali. Sepertinya, itu senyuman pertama yang Shifwa berikan dengan tulus. Bonusnya, benar-benar menawan. Jika bisa, Ardhi ingin pingsan detik itu juga.

Shifwa menyenderkan kepalanya pada bahu tegap Ardhi. Rasanya ... nyaman. Dia menarik napas, menceritakan semuanya pada Ardhi tampaknya akan terasa lebih melegakan. "Perusahaan Papi mau bangkrut."

Ardhi tetap setia menunggu ucapan sang gadis tanpa memotongnya saat dia mengambil jeda. "Gue sama saja kayak dijual sama Papi, Dhi. Seolah-olah gue itu nggak ada harga diri banget sebagai perempuan di mata beliau."

"Apa nggak ada cara lain selain korbanin lo, Shif?"

"Gue nggak tahu, takut juga ngomongnya." Suara Shifwa mulai terdengar bergetar seakan menahan tangis.

"Izinin gue ketemu Papi lo, Shif. Biar Ayah yang bantu Papi lo biar perusahannya nggak bangkrut."

Shifwa langsung menegakkan kepalanya, menatap pria itu dan menggeleng kukuh. "Nggak! Gue nggak mau ngerepotin keluarga lo. Biarin saja gue ngelakuin itu. Kapan lagi gue balas budi sama Papi? Iya mungkin memang nggak akan kebalas semuanya, tapi sedikit-sedikit dulu, iya kan?"

Ardhi benar-benar kagum pada gadis di sampingnya. Tekadnya untuk mendapatkan gadis baik seperti Shifwa semakin kuat. "Gue akan jagain lo tiap malam. Mastiin biar nggak ada satu orang pun yang melihat lo."

"Dengerin gue, gue cerita karena menurut gue ini akan buat gue lebih tenang. Gue nggak mau lo sampai masuk ke dalam masalah gue. Biar ini jadi urusan gue, Dhi. Lo nggak usah ikut campur," jelas Shifwa mencoba memberikan pengertian.

Ardhi mengambil tangan Shifwa yang diletakkan di atas pangkuannya, kemudian menggenggamnya dengan lembut. Netra mereka saling terkunci, Ardhi seakan berniat menembus ke dalam jiwa gadis itu. "Gue nggak ikut campur. Gue cuma mau jagain cewek gue biar masalahnya nggak tambah ruwet. Sampai ada anak Victschool yang lihat, kan, berabe urusannya."

SHIFWA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang