55.Dia Pergi

70 6 4
                                    

Belum genap dua puluh empat jam setelah kejadian, namun ruang tunggu di depan UGD itu masih diselimuti kesedihan yang kentara.

“ELL!”

Si pemilik nama menoleh ketika mendengar dua bias suara yang sangat dikenalinya. Kemudian tersentak saat Bianca dan Ghina memeluknya tiba-tiba dengan keadaan banjir air mata.

Refleks dan karena terlalu sesak menahan tangis sedari tadi, kini pecah dalam pelukan Bianca dan Ghina. Tiga sahabat itu tengah menumpahkan kesedihan masing-masing.

Setelah puas, Bianca bangkit dari posisinya dan terkejut saat melihat ada Alena di antara mereka semua.

“Lo ...,” tunjuknya berapi-api. Sontak semua pasang mata yang asalnya sibuk dengan urusan masing-masing beralih padanya. “Kenapa cewek iblis itu ada di sini?!”

Iya, Bianca dan Ghina sudah tahu perihal dalang dari penerroran Shifwa selama ini dari Ellina. Semalam gadis itu menceritakan semuanya pada dua sahabatnya.

“Lo juga ngapain ke sini?!” Ardhi balas berteriak tak kalah tajam. Menatap nyalang Bianca dan Ghina yang dulu merupakan sahabat kekasihnya, tidak untuk sekarang.

Pria itu mendekat, membuat Bianca dan Ghina kompak beringsut mundur karena ketakutan melihat api amarah yang terpancar dari wajah Ardhi. Entah kenapa air muka pria itu berubah sangar, biasanya dingin namun menenangkan.

“Baru nyesel sekarang? Baru merasa bersalah sekarang?”

Dua orang yang dimaksud hanya menunduk kaku, tak berani untuk membalas tatapan apalagi menyahuti Ardhi. Karena yang pria itu ucapkan, memang benar adanya.

“Ke mana kemarin-kemarin?” Nada suara Ardhi merendah, namun semakin terdengar mengintimidasi. Dingin.

“Kalau tahu Shifwa sakit—“

Kalimat Bianca terhenti karena Ardhi terlebih dahulu menyelanya. “Iya, kalau tahu Shifwa sakit kalian gak mungkin kayak gitu, right?” tajamnya.

“Bahkan semua orang di sini gak ada yang tahu perihal penyakit Shifwa. Cuma Ell dan Bang Alva.”

“Shifwa! Putriku ....”

Diam-diam, Alva mengelus dadanya lega. Akhirnya, akhirnya setelah ia menerror Via dengan cara meneleponnya semalaman wanita itu bersedia datang ke sini juga. Karena ia tahu, Via akan menyesal seumur hidupnya jika tidak melihat keadaan Shifwa sekarang.

Setelah keributan yang terjadi antara Bianca, Ghina dan Ardhi, kini bertambah Via yang berteriak histeris menghampiri mereka. Pasang mata semua orang pun kembali beralih menuju wanita paruh baya namun tetap fashionable itu.

Fokus Ardhi pun ikut berpindah, manik legam yang asalnya sudah sedikit tenang itu kembali nyalang saat melihat Ibu dari Shifwa.

“Hapus air mata palsu lo itu,” desis Ardhi ditujukan pada Via, nada bicaranya benar-benar sinis. Sontak semua orang yang mendengar pun terkejut, tak menyangka jika Ardhi bersikap tidak sopan seperti ini.

“Kamu bicara pada saya?”

“Siapa lagi?” Sebelah alis Ardhi terangkat. “Ngapain lo ke sini?”

“Tentu untuk melihat keadaan putri saya.”

Tawa kosong Ardhi menguap di udara, terdengar sangat menyakitkan. “Bahkan, lo gak pantas untuk disebut sebagai seorang ‘Ibu’,” ujar Ardhi, semakin mendekati Via hingga wanita itu terantuk dinding. Ardhi mengukungnya dengan kedua tangannya yang kekar.

“KENAPA SHIFWA HARUS PUNYA ORANGTUA KAYAK LO DAN PAPINYA?! BAHKAN DIA SENDIRI YANG NUSUK SHIFWA!” Ardhi berteriak sekencang mungkin, mengeluarkan semua uneg-uneg dalam hatinya. Perasaan marah, kecewa dan takut berbaur dalam teriakannya yang menyayat hati tersebut.

SHIFWA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang