"Aku tidak mau berhutang budi pada siapapun, apalagi umurku sudah tidak lama lagi" —Shifwa Drendra Viandra
"Shifwa itu ibaratkan dunia Ardhi. Kalau ada apa-apa dengannya, hancur sudah hidup Ardhi" —Devon Wirawan
"Tidak ada yang salah entah itu Ardhi, ataupun Shifwa. Tugas kita di sini untuk mendukung dan perbaiki hubungan mereka, bukan menghakimi salah satu pihak" —Bambang Prasetyo
“Ell— aw!”Mata Ellina terbelalak, Shifwa memekik sembari mencengkeram perut bagian kanan bawahnya. Bukan hanya ia yang terkejut, melainkan semua orang yang ada di sana. Apalagi Ardhi.
Untuk kali ini, Ellina terlebih dahulu membuang egonya jauh-jauh. Ia membantu Shifwa menumpu berat badannya sendiri, kemudian membawanya ke UKS tanpa dibantu siapapun. Tak apa, Shifwa merasa Ellina lebih dari cukup untuknya.
Keduanya duduk di atas ranjang UKS. Tak ada satupun yang memecah keheningan, hanya terdengar ringisan Shifwa yang menahan sakit luar biasa.
“Shif ....” Ellina memanggil dengan suara pelan dan ragu-ragu, takut kalimat selanjutnya akan menyinggung Shifwa. “Lo gak mau operasi aja? Gue takut keadaan lo semakin parah. Gue ... gak mau kehilangan lo.”
Shifwa tertawa sarkas mendengarnya. “Cepat atau lambat, gue akan mati.”
“Shif! Gue gak suka lo ngomong gitu!” gertak Ellina marah.
“Nggak, Ell. Tabungan gue belum cukup untuk bayar biaya operasi. Minta Mami Papi? Yang ada dibunuh duluan sebelum gue dapat uangnya.”
“Biar gue yang bayar semuanya. Gue, Kak Alva dan Ayah akan lakuin apapun untuk lo. Untuk kesembuhan lo,” ucap Ellina sungguh-sungguh. Tak ada sedikitpun kebohongan yang dipancarkan mata birunya.
“Gue gak mau hutang budi sama siapapun. Apalagi umur gue gak lama lagi.”
***
Ardhi masuk ke dalam warung Mbok Mina, disambut tatapan sinis dari Arkana. Tangannya menenteng ransel hitam lesu, tanpa tenaga.
“Ngapain—“
Devon segera menyentuh punggung tangan Arkana, berusaha menahan. “Udah, Ka. Gue capek lihat kalian berantem,” kesal Devon jujur.
“Gue juga capek habisin tenaga buat hajar dia,” sahut Arkana. Detik berikutnya menyesap batang nikotin yang diapit telunjuk dan jari tengahnya. Asap yang berasal dari rokok Arkana pun mengepul di udara, membuat suasana di warung Mbok Mina menjadi sedikit sesak.
“Ya udah diem kalau gitu.”
Ardhi tak menghiraukan gosipan-gosipan sahabatnya. Ia melanjutkan langkah, kemudian duduk di salah satu bangku kayu dan menelungkupkan kepalanya di atas meja. Satu nama berlarian mengelilingi pikirannya.
Shifwa.
Ardhi masih penasaran sakit apa gadisnya itu.
Ah, tidak. Sekarang Ardhi sudah tidak pantas mengklaim Shifwa sebagai “gadisnya”.
Tersiksa karena kepalanya sangat berat akibat memikirkan banyak hal, Ardhi memutuskan untuk pulang cepat. Tak peduli nanti akan dihukum karena sekarang masih jam istirahat, Ardhi hanya ingin pulang.
Mengistirahatkan pikiran, hati dan badannya.
Mata keempat orang itu sama sekali tak lepas dari pergerakan Ardhi. Mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, karena Ardhi tidak pernah cerita apapun. Namun Ardhi terlihat sangat tidak baik-baik saja, membuat mereka khawatir.
KAMU SEDANG MEMBACA
SHIFWA
Teen FictionSepi, sunyi, senyap. "Sangat menenangkan." "Aku benci semua orang!" "Semua orang membenciku ..." "Aku ingin mati!" "Aku tidak ingin mati ..." Tentang Shifwa Drendra Viandra. Gadis yang dikelilingi banyak orang namun masih merasa sendiri sepanjang hi...