"Tanpa aku, kamu harus bisa sembuh sendiri. Tanpa aku, kamu harus bisa bangkit sendiri. Tanpa aku, kamu harus bisa hapus air mata mu sendiri" —Ardhi Rasheed Sagara
Bianca menatap heran lima orang yang tengah mengelilinginya dan melayangkan tatapan tak bisa diartikan. Ia jadi sedikit takut karena kelimanya sama-sama menyeramkan, mundur satu langkah saja nyawanya akan habis melayang. Iya, mereka berada di atap sekolah. Saat enak-enak menikmati bakso di kantin, tiba-tiba ia dipaksa ikut ke rooftop bersama mereka.
“Apa tujuan lo celakai Shifwa kemarin malam?” setelah beberapa menit hening, akhirnya Ardhi mengeluarkan suara.
Jelas Bianca terkejut, mengapa ia dituduh hal yang bahkan tidak pernah terpikirkan olehnya sama sekali?“Lo diam, berarti 'iya',” lanjut Ardhi karena Bianca tidak mengelak sama sekali.
Bianca bersedekap dada, menatap tak terima ke arah Ardhi. “Gue tahu lo cowoknya Shifwa. Tapi apa pantas lo nuduh orang seenaknya?”
“Sadar dong, sekarang yang benci Shifwa udah banyak, gak kayak dulu. Satu sekolah!”
Ardhi mengepalkan kedua tangannya kuat, ingin marah tapi itu benar adanya.
“Gak usah banyak alasan untuk menutupi kesalahan lo, Bi.” kali ini Devon ikut menyahut.
“Bentar, kalian percaya sama bajingan ini?” sentaknya menunjuk wajah mereka satu persatu.
“Lo juga gak mencari pembelaan, kan?” balas Arkana. Suaranya benar-benar berbeda dari biasanya, seolah mengintimidasi.
“Untuk apa gue cari pembelaan kalau gue gak salah!”
“Udah dibilang gausah kebanyakan ngelak,” serang Devon kembali.
Bianca memalingkan wajahnya dan terkekeh miris. “Bahkan gue gak ngerti apa yang kalian permasalahkan,” ucapnya tanpa mengalihkan atensi.
“Dan apa? Celakai Shifwa?” Bianca kembali menatap wajah mereka bergantian. “Mungkin gue gak suka sama Shifwa, tapi gue masih ingat gimana kebersamaan kita dulu! Gue gak sebusuk yang kalian pikirkan.”
“Karena lo lebih busuk dari yang kita pikir,” celetuk Rafka pedas seperti biasanya.
“GUE GAK MUNGKIN CELAKAI SHIFWA, SAHABAT GUE SENDIRI!”
“Ini nih, contoh human gak punya malu,” ujar Bambang.
“Masih punya keberanian lo sebut diri lo sahabat Shifwa?” kejar Devon.
“Gak mempedulikan dia waktu di bully. Apa masih pantas lo disebut sahabat Shifwa?” kini Ardhi yang bersuara.
Bianca diam seribu bahasa, tak tahu harus mencari pembelaan bagaimana lagi. Tapi seperti yang dikatakannya, sungguh dalam pikirannya tak pernah terlintas untuk mencelakai Shifwa. Sebenci apapun dirinya.
“Kemarin malam lo dimana?” tanya Arkana.
“Di rumah lah! Sempet chattingan juga sama Ell.”
“Muka lo panik, pasti bohong, kan?” ujar Rafka.
“Untuk apa gue bohong sama sesuatu yang gak pernah gue lakukan?!” habis sudah kesabaran Bianca, orang-orang ini pasti salah sasaran. “Katanya cowok gentle, tapi mainnya keroyokan. Sama cewek lagi, cih payah.” Bianca mendorong kasar bahu orang di depannya, kemudian mengambil langkah cepat turun dari rooftop.
Hening kembali melanda. Lima orang itu tengah bergelut dengan pikirannya masing-masing.
“Lo yakin orang yang kemarin itu Bianca?” Arkana menepuk bahu Ardhi menyadarkan pria itu dari lamunannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SHIFWA
Dla nastolatkówSepi, sunyi, senyap. "Sangat menenangkan." "Aku benci semua orang!" "Semua orang membenciku ..." "Aku ingin mati!" "Aku tidak ingin mati ..." Tentang Shifwa Drendra Viandra. Gadis yang dikelilingi banyak orang namun masih merasa sendiri sepanjang hi...