Part 08

26 7 0
                                        

08 ~~~~~~~~~~~IBU
___________________________________________________

“Hebatnya, kamu bahkan mampu membuatku meringan hanya dengan senyuman tulus darimu.”











"BALIKIN IKET RAMBUT GUE!" pekik Belva ketika ikat rambutnya ditarik paksa oleh seorang pemuda yang kini sedang berlari menjauhinya. Belva bersungut kesal, rambutnya jadi berantakan karena ulah pemuda itu. Belva berlari mengejar pemuda itu mencoba mengambil kembali ikat rambut miliknya.

Karena ulah pemuda jangkung itu kini terjadi aksi kejar-kejaran di koridor. Wajah Belva memerah karena marah. Rambut yang sudah Belva kucir rapi dari rumah harus rusak berantakan karena ulah pemuda itu. Keringat sudah mengucur dari keningnya. Bahkan rambutnya kini sudah terasa lepek. Mereka sudah berkejaran sejak keluar kelas. Untung koridor sedang sepi, jika tidak bisa - bisa Belva menabrak orang tadi.

Seorang pemuda berlari menuju tengah lapangan yang kosong diikuti Belva dengan rambut yang sudah berantakan. Mereka terus berputar mengelilingi lapangan. Belva masih berusaha meraih ikat rambutnya yang dibawa lari oleh pemuda itu. Belva terfokus pada ikat rambutnya hingga tak memperhatikan bahwa kini lapangan sudah mulai ramai. Bahkan Belva tak menyadari bahwa dirinya dan pemuda itu sudah menjadi pusat perhatian murid lain.

"Belva, Adimas, berhenti kejar - kejaran! Ini kenapa kalian malah kejar - kejaran?" tegur Pak Dool yang baru saja datang dari arah kantor. Terlihat membawa dua buah bola oren di tangan kanan dan kirinya.

Laskar melangkah dengan tenang melewati koridor yang sepi. Sebuah boleh oren sudah berada di tangannya. Pemuda itu tertegun memandang ke arah lapangan. Laskar jadi menelan ludah getir memandang pemandangan yang lagi-lagi membuat dadanya sesak. Kenapa harus saat Ia berada di sini?

●●●●

Belva menatap bingung ke arah rumahnya yang terlihat kosong. Ia menoleh ke arah toko kue di depan rumah yang juga terlihat kosong, toko itu tertutup rapat. Gadis cantik itu mengernyit bingung, perasaannya mendadak menjadi was-was.

"Neng Belva!" teriak seorang tetangga dari luar pagar rumahnya. Tetangganya itu terlihat tergesa - gesa dan panik. "Neng, tadi ibunya neng Belva kambuh neng. Tadi Bu Mira pingsan, jadi di bawa ke rumah sakit neng sama warga,” jelas tetangganya membuat Belva membelalak kaget .

Belva terdiam, pikirannya seakan blank. Ia jadi teringat saat mendiang ayahnya meninggal. Gadis itu menggelengkan kepala mencoba berpikir positif. Belva bertanya di rumah sakit apa ibunya dirawat. Belva mengucapkan terima kasih dan segera pamit pada tetangganya. Belva meraih sepedanya, Ia mengayuh dengan perasaan yang tak karuan.

"Tuhan, jangan ! Kumohon jangan Tuhan," gadis itu terus memohon kepada Tuhan untuk tidak mengambil ibunya juga. Bahkan luka karena ayahnya yang pergi secara tiba-tiba saja belum sembuh sepenuhnya. Belva mengayuh sepedanya dengan kecepatan yang tinggi. Angin malam yang dingin tak Ia pedulikan.

Setibanya di rumah sakit gadis itu berlari menyusuri koridor rumah sakit yang sepi. Air matanya mengucur deras. Bohong jika Belva tidak panik. Belva hanya mencoba untuk kuat dan tetap tenang dalam situasi seperti ini. Belva melihat Pak RT duduk di kursi depan UGD. Gadis itu mencoba tenang, melangkah dengan cepat menghampiri Pak Rt.

"Bagaimana keadaan Ibu saya, Pak?" tanya Belva tepat ketika Ia sampai di depan Pak Rt.

"Ibumu sedang diperiksa dokter. Lebih baik kamu duduk terlebih dahulu. Tenangkan dirimu dulu, Nak. Ibumu pasti baik - baik saja," ucap Pak Rt menenangkan. Belva duduk di kursi yang sama dengan Pak Rt. Belva menundukkan kepala mencoba menguatkan diri.

Belva melangkah pelan menuju kursi di depan mini market. Tadi dokter sudah menjelaskan keadaan Ibunya. Ia mendudukkan diri di kursi yang tersedia. Belva melamun memikirkan apa yang harus Ia lakukan. Belva memijat keningnya mencoba menghilangkan rasa pusing yang menyerang tiba - tiba. Belva memandang sekotak susu yang tadi Ia beli.

Lama Belva duduk di depan mini market seorang diri. Belva masih terlarut dalam pikirannya yang rumit. Apa Belva harus berhenti bekerja saja? Tapi rasanya pendapatannya akan kurang jika Belva berhenti bekerja. Tadi dokter mengatakan Ibunya kelelahan dan terlalu banyak pikiran. Kini gadis itu mengerti, Ibunya hanya berpura - pura kuat di depannya padahal sebenarnya sama hancurnya atau bahkan lebih hancur.

Belva menghela napas berat. Terlalu larut dalam pemikirannya hingga tak menyadari seseorang duduk di kursi yang berada di depannya.

"Hidup emang berat, ga bisa lo adepin sendiri. Lo butuh seseorang yang bisa ngedengerin keluh kesah lo. Lo ga bisa selamanya pura - pura kuat di depan semua orang. Apa salahnya sih lo terbuka sama orang lain? Lo kira enak mendem luka lo sendiri?" Belva tertegun mendengar suara seseorang yang berasal dari arah depan. Ia mendongakkan kepala menatap kaget orang yang berada di depannya ini.

"Kenapa? Mau tanya dari mana gue tau lo terluka? Lo duduk sendiri di sini udah kaya orang diusir dari rumah. Dan lo masih makek baju sekolah, lo kalau mau galau ga bisa ganti baju dulu?" sarkas pemuda di depan Belva. Belva melotot mendengarnya, ini orang tidak tahu apa-apa tahu tahu bicara seenaknya. Belva mengeram kesal, tetapi enggan untuk menyahuti pemuda di depannya. Belva masih belum menyadari sepenuhnya siapa yang ada di depannya.

SECRET(TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang