Part 22

12 5 0
                                    

22~~~~~~~~~~AWAL
___________________________________________________

“Pengkhianatan adalah awal dari sebuah kehancuran.”













Belva melangkah dengan tumpukkan buku di tangannya. Wajah gadis itu terlihat menahan kesal. Ia diminta guru bahasa Indonesia untuk mengembalikan buku cetak ke perpustakaan. Dia sebenarnya tidak masalah jika bukunya yang satu atau dua buah saja, tetapi ini ada sekitar dua belas buku. Belva mencebikkan bibirnya merasa tangannya pegal. Belva mempercepat langkahnya menuju perpustakaan. Belva sudah tidak sabar menaruh tumpukkan buku ini.

Belva tersentak hampir oleng saat bahunya terhantam keras jika sebuah tangan tidak menahannya. Belva mengerjap mengembalikan kesadarannya. Gadis itu bernapas lega dirinya tidak jatuh. Ia mengalihkan pandangan ke depan memandang objek yang membuatnya terdiam kaku spontan memundurkan langkah. Belva hendak berbalik menghindar, tapi sayang sebuah tangan sudah menahannya.

"Kenapa ngehindar?" tanya seorang pemuda yang menahan tangan Belva. Pemuda itu menatap Belva dengan tatapan sendu penuh tanya.

Belva memalingkan wajah tak ingin menatap pemuda di depannya. Gadis itu menepis tangan yang menahannya. Belva hendak melangkah menuju perpustakaan, tetapi pemuda di depannya ini menghalanginya. Ia bergeser menghindar begitu juga pemuda di depannya ikut bergeser menghalanginya. Belva menarik napas "Permisi, kak. Saya mau lewat," gadis itu hendak pergi, tetapi lagi-lagi pemuda di depannya menghalanginya.

"Jawab dulu, kenapa ngehindar?" tanya pemuda itu sekali lagi. Pemuda itu menghela napas melihat gadis di depannya masih enggan menatapnya. "Belva," pemuda itu hendak meraih tangan gadis di depannya, tetapi dengan cepat gadis itu menarik diri mundur. Helaan napas pemuda itu terdengar, Ia mengusap wajahnya kasar. "Aku ada salah apa?"

Belva sedikit kaget pemuda itu mengubah cara bicaranya tidak lagi menggunakan nama. Belva meneguk ludah kasar, semakin menundukkan kepala tak ingin menatap mata pemuda itu. Sekuat tenaga Belva mengendalikan diri, Ia tak ingin menangis di depan pemuda ini. Cukup sudah Belva menghabiskan waktu untuk menangis semalaman. Ia menarik napas lagi-lagi meyakinkan dirinya. "Maaf, Kak. Saya buru-buru, ini masih jam pelajaran. Saya takut kena tegur guru saya. Permisi kak," Belva berpamitan dan hendak melangkah pergi tapi lagi-lagi pemuda ini menghalanginya.

"Bel, jawab dulu. Kenapa? Aku gak tau kamu kenapa kalo kamu gak bilang," ke sekian kalinya pemuda itu mencoba untuk membuat Belva menjawab pertanyaannya. Tapi lagi-lagi gadis itu hanya diam menunduk enggan menatapnya. Pemuda itu tak habis akal, menundukkan kepala melongok dari arah bawah membuat gadis itu jadi termundur kaget. Setelah gadis itu mendongak, pemuda itu memajukan wajahnya tepat di depan wajah Belva "Kenapa hm?"

Belva tersentak kaget, gadis itu mundur satu langkah. Belva menggelengkan kepala meyakinkan diri tak ingin luluh dengan pemuda ini. Belva hanya ingin beristirahat sebentar. "Mau Kak Laskar apa?" akhirnya gadis itu mendongak menatap mata Laskar.

Laskar tersenyum menyadari gadis ini sudah membuka diri untuk berbicara dengannya. Pemuda itu tersenyum lebar, Laskar tidak bisa membohongi dirinya sendiri selama satu bulan Ia uring-uringan. "Belva kenapa? Kenapa ngehindarin Kak Laskar. Ada masalah?"

Belva menatap sekitar melihat koridor sekolah yang kini sepi. Tetapi, gadis itu tetap was was "Gak papa. Ini sekolah, Kak. Kak Laskar yang minta backstreet kan? Jadi tolong, Kak Laskar pegang omongan Kakak," gadis itu menunduk sebentar lalu kembali mendongak menatap mata pemuda itu. "Gak semua hal bisa dijelasin, Kak. Emang Kak Laskar gak akan tau aku kenapa kalo aku gak bilang sama Kak Laskar. Tapi seenggaknya Kak Laskar bisa intropeksi diri Kak Laskar sendiri. Kesalahan apa yang udak Kak Laskar perbuat," tambah gadis itu. Belva menahan diri agar suaranya tidak bergetar.

SECRET(TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang