Part 17

12 5 2
                                    

17 ~~~~~~~~~~~GELANG SINGA
___________________________________________________

“Dia adalah obat yang ku pilih untuk menyembuhkan lukaku.”












Dimas duduk di balkon kamarnya dengan sebuah gitar berada di pangkuannya. Di meja depan pemuda itu terdapat segelas susu hangat buatan sang Mama. Ingatan Dimas melayang pada kejadian empat tahun lalu. Tepat saat Ia bertemu seorang gadis cantik dengan rambut kepangnya. Dimas tersenyum mengingat raut wajah gadis itu yang kesusahan membawa perlengkapan MPLS saat itu. Rasanya sejak saat itu Dimas menemukan cahaya kembali dalam hidupnya. Seperti ada harapan untuk dirinya bahagia.

Harapan itu benar - benar sirna saat fakta itu terucap langsung dari bibir gadis itu. Dimas tersenyum miris menyadari betapa bodohnya Ia berharap gadis itu membalas perasaannya. Dimas tak akan pernah sebanding dengan lelaki yang kini menjadi kekasih gadis itu. Wajar gadis itu begitu mencintai lelaki itu. Dia lelaki yang sempurna, yang siap memberikan hatinya seutuhnya. Sedangkan dirinya, bahkan hatinya sudah hancur sejak Ia dilahirkan.

"Gue backstret sama Kak Laskar." Ucap gadis itu menatap mata pemuda di sampingnya.

Dimas membeku mencoba mencerna perasaannya saat ini. Walau Ia sudah mengetahui fakta ini, tetapi tetap terasa menyakitkan saat mendengarnya dari gadis ini langsung. Dimas menarik napas dan menghembuskan dengan pelan bersiap mendengar kalimat selanjutnya dari gadis ini.

Belva menatap langit yang mulai cerah setelah hujan turun beberapa saat lalu. "Gue masih gak percaya alasan dia buat nyembunyiin hubungan ini cuma karena gengsi,” gadis itu tersenyum miris menggeleng pelan. "Apa gue seburuk rupa itu, Dim?"

Perkataan Belva di hari itu, tatapan mata gadis itu benar-benar membuatnya ikut merasakan sakit gadis itu. Dimas menarik rambut belakangnya, mengusap wajahnya kasar. Ia benar - benar tidak bisa mengacuhkan gadis itu begitu saja. Tapi, kejadian yang Dimas lihat tadi benar-benar menamparnya.

Kenapa Dimas harus melihat gadis itu berpelukan dengan pemuda lain.

Dimas menarik napas dalam. Memetik gitar di pangkuannya. Nada mengalun dengan indah ungkapan hati yang tersayat. Tak pernah terlintas dalam kepalanya bahwa Ia akan galau begini hanya karena seorang gadis. Dimas tersenyum miris mengingat betapa bodohnya dirinya. Bergalau ria padahal gadis itu sedang tersenyum bahagia setelah berbaikan dengan kekasihnya.

Dimas memejamkan matanya mencari ketenangan. Pemuda itu mencoba menikmati alunan nada yang Ia ciptakan. Rasanya sangat menyenangkan memang galau saat malam-malam begini. Dimas jadi tersenyum aneh mengingat saat gadis itu menceritakan salah satu novel yang gadis itu baca. Apakah Dimas bisa menjadi tokoh utama impian gadis itu? Atau memang malah dirinya hanya ditakdirkan sebagai tokoh figuran dalam hidup gadis itu?

"Galau aja nih anak Papah,” Dimas tersentak, memutar kepala menoleh ke arah sang Papah yang datang dengan secangkir kopi ditangannya. Dimas menggeser tubuhnya saat pria dewasa itu hendak mendudukkan diri di sampingnya. 

"Kenapa sih? Cewek?" tanya pria dewasa itu sekali lagi. Ia belum puas melihat anaknya yang hanya diam.

Dimas hanya menggelengkan kepala sebagai jawaban. Pria dewasa di samping Dimas menghela napas melihat putranya ini masih tidak mau terbuka dengannya. Pria itu menggelengkan kepala heran, putranya ini tampan, cerdas, dan menurutnya juga sikapnya baik. Masa iya ada perempuan yang menolak putranya ini?

Papah Dimas jadi meneliti penampilan putranya dari atas hingga bawah. Pria itu memegang bahu Dimas memberi sinyal pada anak itu untuk menegakkan tubuh. Tangan pria itu terulur mengusap dagu dan hidung bangirnya. "Kayanya kamu salah style deh, Dim,” pria itu masih sibuk membolak-balik tubuh Dimas memperhatikan putranya itu. "Oh atau kamu kurang gerak cepet mungkin."

Dimas berdecak melihat tingkah Papahnya. Pemuda itu menepis tangan Papahnya. "Pah, udah ih,” Dimas merengut memajukan bibir bawahnya. Bibir pemuda itu masih menggerutu dengan tangan merapikan kembali bajunya. Lagian Papahnya ini ada-ada saja, mau membenarkan penampilan Dimas. Gaya pakaiannya saja sudah seperti artis 90-an.

Papah Dimas yang melihat tingkah anaknya jadi terkekeh pelan. Tangan kanan pria itu terulur merangkul bahu putranya. "Makanya gausah galau. Nanti ada yang naksir,” bisik Papahnya pada Dimas. Pria itu menyesap secangkir kopi yang sedari tadi Ia diamkan.

"Gausah ngadi - ngadi ya, Pah."

"Kenapa? Takut kan?" ledek pria dewasa itu. Mata pria itu beralih pada segelas susu di depan Dimas. Pria itu tersenyum remeh "Pantes gak ada yang mau. Mana ada cowok keren masih minum susu hangat tiap malam. Minta buatin mamanya lagi,” ledek Papah Dimas. Pria itu mengangkat cangkir kopinya beranjak meninggalkan putranya.

Mata Dimas melotot menyadari bahwa Papahnya sedang mengejeknya. Bibir pemuda itu maju menggerutu pelan. "PAPAH JANGAN MAIN-MAIN YA! INI BARU NAMANYA LAKIK!" teriak Dimas saat sang Papah menutup pintu kamarnya dengan keras.

Papah Dimas yang mendengar teriakan anaknya tak enggan untuk menyahuti. "LAKIK!! APAAN LAKIK MINUMNYA SUSU ANGET! AKIK ITU MAH AKIK!" pria itu berteriak dari luar kamar Dimas.

“LAKIK YA PAH BUKAN AKIK,” balas Dimas tak kalah keras dari dalam kamar.

Baru saja Papah Dimas ingin membalas teriakan putranya sudah mengatupkan mulut terlebih dahulu. Mata pria itu menangkap istrinya sudah menatap tajam memberi peringatan. Pria dewasa itu menyengir memegang tengkuknya dengan canggung. Sedetik kemudian berdehem pelan mengubah ekspresi wajahnya menjadi tegas dan berwibawa.

Berbeda dengan Dimas yang berada di kamar. Pemuda itu masih terus menggerutu. “Punya bapak kok gak bener,” gerutu pemuda itu sebelum menenggak habis segelas susu yang semula berada di depannya.

Dimas jadi kembali terdiam, bayangan kelam itu kembali hadir. Mata pemuda itu beralih menatap gelang hitam dengan gantungan singa melingkar di tangan kanannya. Ia tersenyum lirih mengingat gelang itu peninggalan Ibunya.

Dimas mendongakkan kepala menatap langit mencoba menolak untuk menangis. Sudah lama Ia mencoba untuk tidak mengingat masa lalunya. Tetapi, Dimas sadar bahwa dirinya tidak akan pernah bisa menolak fakta bahwa Ia merindukan kedua orang tua kandungnya.

Tangan Dimas mengusap gantungan gelang yang berbentuk singa itu. Ingatannya melayang saat Ibu Panti memberikan gelang ini padanya.  Kata-kata Ibu Panti itu masih teringat jelas dalam kepalanya. Sebuah harapan dari kedua orang tua kandungnya.

"Gelang ini Ibu temukan bersama dengan kamu saat kecelakaan itu terjadi, Nak. Gelang ini sudah melingkar di tanganmu," Ibu Panti memberikan gelang hitam dengan gantungan singa dan ukiran nama 'ADIMAS PRAMUDYA'. Anak laki - laki itu menerima gelang itu, mata anak itu mendadak memanas teringat bahwa dirinya sendirian di dunia ini.

Ibu Panti menyentuh pundak anak laki-laki yang sibuk mengamati gelang di tangannya. "Jangan merasa sendiri, Nak," wanita itu tersenyum melanjutkan kalimatnya. "Lihat gelang ini, coba perhatikan gantungan singa itu," Ibu Panti memegang gantungan gelang yang berada di tangan Dimas. "Ibu memang tidak tau pasti apa arti gantungan ini bagi Ibumu. Tapi menurut Ibu ini sebuah harapan, Nak. Ibumu ingin kamu tumbuh seperti seekor singa. Ibumu ingin kamu menjadi anak yang kuat dan tangguh. Seperti namamu, Nak. Adimas Pramudya seorang pemimpin yang bijaksana," Ibu Panti mengusap bahu bocah berumur tujuh tahun itu dengan sayang.

Anak ini berbeda dengan anak yang lain. Ia selalu tertawa saat bersama teman-temannya yang lain. Tetapi, saat sendirian wajah murung itu akan hadir kembali. Adimas Pramudya, anak laki - laki yang Ia temukan terkapar di tengah jalan dengan keadaan bersimbah darah. Beruntung anak ini selamat dari tabrakan beruntun yang menimpa Ia dan kedua orang tuanya. Tetapi, malangnya orang tua anak itu meninggal di tempat.

Bocah laki - laki itu menatap Ibu Panti yang masih setia mengusap bahunya. Bocah itu tersenyum "Ibu tenang aja, Dimas akan jadi anak yang baik. Dimas akan wujudin kemauan Bunda Dimas. Dimas bakal jadi pemimpin yang bijaksana."

Dimas mengusap ujung matanya yang berair. Pemuda itu menarik napas pelan. Sekali lagi, Dimas akan menerima kembali perjalanan hidupnya. Pemuda itu beranjak dari tempat duduknya membawa gitar dan gelas kosong yang semula berisi susu. Ia masuk ke dalam kamarnya, menuju tempat tidurnya. Dimas mematikan lampu dan menarik selimut menyegerakan diri untuk tidur. Sebelum memejamkan mata Dimas menyempatkan diri menatap lamat gelang hitam yang melingkar di tangannya.

"Bunda, jangan lupa mampir ke mimpi Adim ya"

SECRET(TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang