Part 23

9 5 2
                                    

23~~~~~~~~~SALAH PAHAM BERUJUNG PETAKA
___________________________________________________

“Jika matamu melihat dengan jelas, maka otakmu harus berpikir dengan tenang.”













Belva duduk di depan ruang operasi sang Ibu, memeluk lutut dengan wajah yang Ia tenggelamkan di antara kedua lututnya. Tangis gadis itu sudah mereda, tetapi sesak di dadanya masih terasa begitu nyata. Penampilan Belva sudah menjelaskan betapa kacau keadaannya saat ini. Rambut berantakan, baju acak-acakan, sudah menggambarkan betapa mengenaskan gadis itu. Masih lengkap dengan pakaian kerjanya, Belva enggan beranjak dari tempat Ia duduk. Kakinya terasa lemas, tak sanggup menopang tubuhnya.

"Belva"

Belva mendongak mendengar suara yang tak asing. Mata gadis itu langsung bertemu dengan mata seorang wanita dewasa di depannya. Sedetik kemudian Belva merasakan pelukan hangat dari wanita itu. Belva melemas dengan perasaan yang tak dapat dijelaskan, air mata itu perlahan ikut turun. Sekilas telinganya mendengar wanita itu berbisik.

"Belva kuat sayang, Ibu Belva juga kuat. Kak Mira sayang sama Belva, ga mungkin Kak Mira ninggalin Belva."

Belva makin menundukkan kepala, Ia tak sanggup lagi menatap mata Bibinya, mata yang sama persis seperti milik Ibunya. Hatinya hancur saat melihat mata itu, mata itu mengingatkannya pada mata Ibunya yang kini terpejam tak berdaya. Bahu gadis itu kembali bergetar, isaknya kembali terdengar begitu pilu menyayat hati.

Bibi Belva menyentuh pipi keponakannya, mengangkat dengan lembut agar Belva mendongak kembali. Ibu jarinya bergerak menghapus jejak air mata gadis itu yang terus mengalir. Senyuman tercetak di wajahnya seolah menangkan Belva. "Sayang, kamu kuat kok. Bibi yakin kamu bisa ngelewatin ini semua. Belva kan anak baik, ga mungkin dong Ibu Belva ninggalin Belva," wanita dewasa itu mengusap lembut kepala ponakannya, menatap menenangkan.

Bibi Belva memegang bahu Belva dengan lembut. "Belva pulang dulu ya? Belva istirahat dulu, biar Bibi yang jagain Ibu Belva di sini, oke?" titah wanita dewasa itu pada Belva. Tetapi, gadis itu menggelengkan kepala menolak permintaannya.

Bibi Belva menghela napas, "Belva, dengerin Bibi. Belva belum makan, kan?" lagi-lagi gadis itu menggelengkan kepala sebagai jawaban.

"Belva baru pulang kerja?" kali ini Belva mengangguk sebagai jawaban. Bibi Belva mengusap bahu Belva "Belva denger Bibi," wanita itu menahan napas sedangkan Belva mendongak menunggu kalimat selanjutnya. "Belva, Belva pulang dulu ya. Belva makan, beres-beres, istirahat. Belva bayangin waktu Ibu Belva sadar tapi Belva dalam keadaan sakit. Pasti Ibu Belva sedih. Belva gak mau kan Ibu Belva sedih?"

Belva terdiam tak tahu hendak menjawab apa. Bibir gadis itu masih tertutup rapat. Kebungkaman Belva membuat Bibinya khawatir. Mungkin fisik gadis ini baik-baik saja, tetapi Ia tahu mental dan hati gadis ini hancur.

Sekian lama gadis Belva terdiam, akhirnya gadis itu menganggukkan kepala membuat senyuman mengembang di wajah Bibinya. "Kalau ada apa-apa sama Ibu kabarin Belva ya, Bi," ujar gadis itu sebelum berdiri dari duduknya. Belva menyempatkan diri menoleh ke arah ruang operasi Ibunya, mata gadis itu menyendu. "Belva pulang dulu ya, Bu? Ibu yang kuat ya, Belva kangen," ucap gadis itu lirih lalu menyalami Bibinya dan melangkah pergi.

Bibi Belva menatap ponakannya yang melangkah menjauh. Bahu gadis itu terlihat rapuh. Helaan napas wanita dewasa itu terdengar. Matanya beralih menatap ruang operasi kakaknya.

"Kakak bertahan ya, Dia akan hancur kalau kakak pergi."

●●●●

Belva mengayuh sepedanya pelan, tatapan gadis itu kosong menatap jalanan yang lenggang. Belva menepikan sepedanya di tempat parkir khusus sepeda di taman kota. Belva melangkah pelan menuju sebuah kursi yang berada di taman kota. Angin malam yang menusuk kulitnya tak Ia pedulikan. Rasanya dirinya butuh ketenangan.

SECRET(TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang