26~~~~~~~~~~ONE DAY WITH DIMAS II
___________________________________________________“Kamu adalah alasanku bertahan sejauh ini. Jadi, tak salah bukan jika aku berkorban untukmu?”
Seusai bermain bersama anak-anak panti, Dimas mengajak Belva menuju sebuah Taman Pemakaman Umum. Belva mengernyit ragu saat Dimas memberhentikan di gerbang pemakaman. Gadis itu semakin tidak mengerti dengan pola pikir Dimas. Belva menggelengkan kepala tak ingin berpikir positif. Gadis itu turun dari motor besar milik Dimas. "Dim, ini lo yakin?" tanya gadis itu yang diangguki oleh Dimas.
"Iya, ayo," ajak Dimas menarik tangan Belva. Mereka berdua memasuki area pemakaman dengan Dimas berada di depan menggenggam tangan mungil Belva. Langkah Dimas terhenti pada sebuah makam. Pemuda itu menundukkan diri berjongkok di samping makam itu. "Bun, maafin Dimas gak bawa apa-apa buat Bunda," lirih pemuda itu mengusap nisan milik Ibundanya.
Belva yang masih berdiri jadi tertegun menatap Dimas yang kini masih saja mengusap nisan itu. Dapat Belva lihat mata pemuda itu perlahan mengembun dengan wajah yang menyendu. Apa ini? Bukankah ayah Dimas kakak dari ibu Kana, tapi apa ini? Lama Belva melamun mencoba menerka apa yang sebenarnya terjadi. Panti Asuhan? Pemakaman?
Belva tersentak mulai menyadari apa yang terjadi. Gadis itu tertegun memperhatikan Dimas dengan sendu. Belva berjongkok di samping Dimas, mengusap bahu pemuda itu. "Dim, are you okay?"
Dimas memutar kepala mendengar pertanyaan Belva walau kemudian kembali menatap gundukan tanah di depannya dalam diam. Pemuda itu menggeleng, "Orang tua gue meninggal saat gue usia 7 tahun, Bel," Dimas mulai bercerita pada Belva.
Belva tertegun mendengarnya, semakin dirinya membuka diri untuk pemuda ini, semakin banyak hal mengejutkan yang tak pernah Belva duga. Tangan Belva yang masih berada di bahu Dimas mengusap pemuda itu menguatkan.
"Kami mengalami kecelakaan beruntun, orang tua gue tewas saat itu. Gue sempet koma, tapi akhirnya gue selamat," Dimas menarik napas dalam menatap lamat nisan di depannya. Dadanya terasa sesak, rasanya seperti membuka lama yang sudah lama dirinya tutup rapat-rapat. "Gue sempet mikir, kenapa gue harus hidup kalo gue sendirian di sini?" mata Belva membola mendengar pernyataan pemuda itu hampir mengumpat. Tetapi, Belva menahannya tak ingin membuat pemuda ini terganggu.
Dimas mendongak menatap langit yang menggelap "Tapi pernyataan itu sirna pas gue liat wajah lugu anak-anak seumuran gue di rumah pelita kasih," senyuman perlahan terbit dari bibir pemuda itu dengan mata yang mulai mengabur. "Mereka alasan gue bertahan sampai detik ini, Bel. Ada mereka yang masih nunggu kehadiran gue. Ada mamah dan papah yang masih mau sayang sama gue tanpa peduli gue bukan darah daging mereka."
Dimas menarik napas sebelum melanjutkan kalimatnya, "Tapi, Bel......," Dimas menjeda kalimatnya memutar tubuh menghadap ke arah Belva. "Ada saatnya gue kangen sama Bunda dan pengen ikut Bunda."
Belva tertegun, gadis yang sebelumnya menunduk itu jadi mendongak menatap manik mata Dimas. "Jangan," lirih Belva.
"Ck, udah ah malah jadi melow. Kan gue mau ajak lo happy-happy hari ini," Dimas kembali menatap makam Ibundanya. "Bun, Dimas pergi dulu ya. Bunda baik-baik, kalo bahagia mah pasti kan di surga gak ada kesedihan," pemuda itu beralih menatap makam di samping makam Ibundanya. "Ayah jagain bunda, oke," Dimas menyempatkan diri mengusap nisan sang Ayah sebelum berdiri.
Selesai berpamitan dan berdoa untuk ke dua orang tuanya. Dimas mengajak Belva untuk meninggalkan Taman Pemakaman ini. "Dah, ayok Bel serem juga lama-lama di sini," Dimas melangkah pergi terlebih dahulu meninggalkan Belva yang masih menatap makam kedua orang tua Dimas.

KAMU SEDANG MEMBACA
SECRET(TERBIT)
RomanceBelva Melviana gadis sederhana yang hidup berdua dengan Ibunya semenjak sang Ayah meninggal. Hidup Belva begitu abu, monoton. Hingga Ia bertemu dengan sang pemberi warna. Orang yang mampu membuatnya meringan hanya dengan menatap matanya. Bagai dua...