27~~~~~~~~~~~KEMBALI KEHILANGAN?
___________________________________________________“Bolehkah ku katakan aku merindukan binar mata itu? ”
"Ganti baju dulu, nanti lo sakit," pemuda di depan Belva itu ikut berjongkok menyamakan tinggi dengan Belva. Pemuda itu berusaha menatap manik mata milik Belva. Paper bag yang berada di tangannya, pemuda itu letakkan kursi tunggu yang tersedia. Tangan pemuda itu naik meraih bahu Belva "Pikirin kesehatan lo, Bel. Gue udah tau semua, gue udah tau keadaan Ibu lo. Tadi Dimas sempet bilang waktu gue ngehajar dia," pemuda itu menunduk merasa bersalah.
"Maafin gue, Bel. Ini semua salah gue, salah gue yang terlalu kekanak-kanakan. Gue-," ucapan pemuda itu terpotong saat Belva mengangkat tangannya memberi kode padanya untuk berhenti berbicara. Pemuda itu tertegun melihat sikap Belva.
Belva mendongakkan mata menatap tajam pemuda di depannya. "Ini bukan saat buat bicara soal hal itu," gadis itu menggelengkan kepala berusaha menahan tangis, tapi sayangnya dirinya gagal. Tangis Belva tetap pecah mengingat keadaan Dimas saat ini. "Yang terpenting bagi aku sekarang adalah keadaan Dimas."
Belva berdiri diikuti oleh pemuda di depannya. "Aku gak peduli Kak Laskar mau bilang apa, aku gak peduli. Aku gak peduli tentang kesalahan Kak Laskar, aku.gak.peduli," tekan gadis itu pada tiga kata terakhir di kalimatnya. Belva menarik napas, membuang pandangannya walau kemudian kembali menatap Laskar. "Bahkan aku gak peduli sama hubungan kita, aku gak peduli sama Kak Laskar. Terserah, terserah Kak Laskar mau ngapain, terserah. Aku gak peduli, yang terpenting bagi aku adalah," Belva menjeda kalimatnya menarik napas menguatkan diri. Dadanya begitu sesak melihat keadaan Dimas. "Kesembuhan seorang Adimas Pramudya."
Laskar tersentak kaget, dirinya benar-benar tak menyangka dengan apa yang dikatakan gadis itu. Laskar mengerjap menahan sesak di dadanya, dirinya seolah dipukul mundur oleh gadis ini. Laskar hendak meraih tangan Belva, tetapi gadis itu menghindar. Selalu seperti itu, Belva selalu menghindarinya, tak pernah mau memberi dirinya kesempatan. "Kasih gue kesempatan, Bel," lirih pemuda itu memohon pada Belva.
Belva menghela napas kasar tak habis pikir dengan pemuda ini. Dengan cara apa dirinya harus menjelaskan, "Kak, please. Gak sekarang," Belva menghela napas menatap mata Laskar dengan tajam dan raut wajah datar. "Kalo gak ada kepentingan, kak Laskar pulang aja," sarkas gadis itu pada Laskar dengan tangan menunjuk arah pintu keluar.
"Bel-"
"PERGI KAK!" sentak Belva yang membuat Laskar tertegun diam tak berkutik. Pemuda itu menatap Belva sendu, sedangkan gadis itu hanya memalingkan wajah tak ingin menatapnya.
Laskar mengangguk menuruti kemauan Belva. Pemuda itu mendekatkan diri pada Belva, mengusap bahu gadis itu dengan lembut. Mata pemuda itu menatap Belva dalam walau gadis itu enggan untuk menatapnya. "Gue pulang, Bel. Jangan lupa bajunya diganti ya? Itu bajunya gue tarok di kursi, lo juga jangan lupa makan inget Ibu lo," Laskar menjeda kalimatnya menundukkan kepala menahan sesak yang menggerayangi dadanya. Laskar kembali mendongak menatap gadis itu yang kini menatapnya "Jangan egois, gue pulang," pemuda itu menyempatkan diri mengusap puncak kepala gadis itu lalu melangkah pergi.
Belva tertegun dengan perlakuan pemuda itu, gadis itu menatap Laskar yang mulai melangkah menjauh. Mata gadis itu terus menatap bahu tegap pemuda itu yang semakin menghilang. Setelah pemuda itu benar-benar menghilang dari penglihatannya, Belva meluruh terduduk dengan bahu yang gemetar. Rasanya begitu sesak, dirinya bimbang semua terasa menyakitkan. Isak tangis gadis itu terdengar menyayat hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
SECRET(TERBIT)
RomanceBelva Melviana gadis sederhana yang hidup berdua dengan Ibunya semenjak sang Ayah meninggal. Hidup Belva begitu abu, monoton. Hingga Ia bertemu dengan sang pemberi warna. Orang yang mampu membuatnya meringan hanya dengan menatap matanya. Bagai dua...