Part 29

11 4 0
                                    

29~~~~~~~~~~~~SEBUAH FAKTA
___________________________________________________

“Luka selalu hadir dari sesukanya. Mengusir berjuta rasa bahagia yang telah lama menetap.”











Laskar mendribble bola oren yang berada di tangannya. Pemuda itu berusaha untuk fokus pada permainan basketnya. Tetapi, semua terasa percuma saat tangisan gadis itu melintas di kepalanya.

"Kar, lo kenapa sih? Fokus dong, tumben lo begini," Evan menepuk bahu Laskar. Sedari tadi Evan memperhatikan cara bermain Laskar yang benar-benar tidak seperti biasanya. Laskar terlihat beberapa kali melamun, bahkan pemuda itu selalu gagal untuk memasukkan bola ke ring.

Laskar hanya menggelengkan kepala kembali memainkan bola oren yang berada di tangannya. Pemuda itu terus berusaha memasukkan bola ke ring, tetapi tetap saja gagal. Lemparan yang awalnya tertuju pada ring di depannya semakin lama semakin tak tentu arah. Lemparan itu terlihat seperti sebuah pelampiasan emosi.

"ARGH! BRENGSEK!" teriak Laskar melempar bola oren itu dengan keras ke sembarang arah. Pemuda itu mengusap wajahnya dengan kasar. Langkahnya menuju ke tempat di mana tas miliknya berada. Laskar meraih botol minum yang berada di samping tasnya. Pemuda menggelengkan kepala saat air  mengalir di wajahnya.

"Ck, lo kenapa sih? Cerita aja," Evan datang menghampiri Laskar yang kini duduk di tangga paling bawah. Evan mendudukkan diri di samping Laskar memperhatikan wajah sahabatnya yang tampak kusut.

Laskar menyengir lebar menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Eh BuTut"

"APA BUTUT BUTUT, NAMA SAYA WIDIASTUTI BUKAN BUTUT," sentak Bu Tuti.

Laskar yang berada tepat di depan Bu Tuti memejamkan matanya. "Buset dah ujan," gumam pemuda itu pelan. Tangan pemuda itu meraup wajahnya sendiri.

‘Kerjain seru kali ya. Lumayan hiburan,’ Laskar terkikik dalam hati. Laskar mendongak menatap Bu Tuti dengan tatapan maut andalannya. Bu Tuti jadi terdiam masuk dalam pesona murid tampannya itu.

'Mampus kena lo' ucap Laskar dalam hati. Ingin rasanya tertawa keras saat ini. Tetapi Laskar masih berusaha menahan tawanya. "Jidat BuTut Benjol jadi lucu," dengan usil pemuda itu menekan benjolan di kening Bu Tuti. Dengan cepat Laskar menyeret  Evan yang masih melongo mengajak pemuda itu untuk berlari kencang sebelum terkena ombak badai Bu Tuti.

"KURANG AJAR KAMU LASKAR!" teriak Bu Tuti yang kini berlari mengejar kedua muridnya dengan penggaris panjang di tangan kanannya. "JANGAN LARI KAMU LASKAR! MANTAN KETUA OSIS KOK BEGITU KELAKUANNYA!"

"KAN UDAH MANTAN BU, GAK PERLU DI INGET-INGET! MAJULAH KE DEPAN JANGAN TERUS MENENGOK KE BELAKANG!" sahut Laskar tak kalah keras dari Bu Tuti. Bahkan pemuda itu menyempatkan diri untuk berhenti sekedar menyahuti Bu Tuti.

"BU TUTI SEMANGAT DONG! MASA GITU DOANG!" sahut Evan gentian saat melihat Bu Tuti berhenti berlari untuk mengatur napas. Evan ikut berhenti di samping Laskar jadi memandangi Bu Tuti. Pemuda putih itu tersenyum miring saat sebuah ide berlian terlintas di kepalanya. "BU! AYOK LARI! PANTES GENDUT LARI DIKIT BENGEK!!" Evan memutar badan kembali berlari dengan kencang menghindari amukan Bu Tuti.

"Gak punya sopan santun kamu ya! Dasar, gak ketua gak wakil sama-sama gendeng," Bu Tuti menggelengkan kepala lelah membiarkan kedua muridnya itu berlari kabur entah kemana.

•••••

"Baru tau ya kalo Kak Laskar gak sekaku itu?" Belva yang awalnya bersandar menatap ke arah koridor bawah jadi tersentak kaget saat sahabatnya berdiri di sampingnya.

"Kak Laskar emang aslinya begitu, asik orangnya. Ya walaupun cuma ke orang terdekatnya aja," lanjut Kana yang tak menyadari raut wajah Belva yang tak seperti biasanya.

●●●●

Di lain tempat dua orang pemuda tampan dengan baju acak-acakan sedang menunduk dengan napas yang tak teratur. "Gila lo, berani banget pegang jidat BuTut," ujar Evan membuka pembicaraan dengan napas yang masih ngos-ngosan.

"Ya gue penasaran aja gimana tekstur pala benjol," dengan wajah tanpa dosa Laskar mengatakan hal itu. Bahkan pemuda itu kini dengan santainya mengibas bajunya gerah.

"Tekstur tekstur, untung gak kena sambit sama BuTut," tangan Evan terulur mendorong kepala Laskar dengan keras. Tidak habis pikir, Laskar itu kalem tetapi sekalinya berulah suka tidak tanggung-tanggung. Pernah sekali waktu mereka kelas 11 dengan santainya pemuda itu mendorong motor paling ujung  di parkiran  sekolah yang otomatis motor-motor itu jatuh beruntun. Saat ditanya alasannya, dengan santai Laskar akan menjawab 'gabut'.

"Sambit balek," Evan menarik kepala Laskar mengapitnya dengan lengan. Dengan kesal pemuda itu menarik-narik rambut Laskar yang berada di atas telinga.

"Lo kalo mau ngulah, ngulah aja sendiri gausah ngajak-ngajak gue!" sentak Evan menghempaskan kepala Laskar begitu saja.

Laskar mengusap kepalanya yang terasa sakit. "Alah lo juga seneng," kini berganti Laskar yang mendorong kepala Evan dengan keras.

Evan hendak membalas, tetapi suara ponsel berdering membuatnya menghentikan langkahnya. "Hp lo?" tanya Evan saat tak merasakan getaran ponselnya.

Laskar mengangguk kepala, yang kemudian berpamitan pada Evan untuk mengangkat telpon. Laskar menempelkan ponselnya pada telinganya. Raut wajah pemuda itu yang semula tenang jadi mengeras, urat di leher pemuda itu menonjol dengan tangannya yang mengepal. Terlihat dengan jelas bahwa pemuda itu sedang emosi. Tanpa berpamitan Laskar berlari meninggalkan Evan yang terdiam bingung menatap sahabatnya.

Laskar mengambil motornya yang berada di parkiran sekolah. Pemuda itu menabrak gerbang sekolah dengan keras hingga gerbang hingga menimbulkan suara keras. Seorang satpam sekolah muncul dengan raut wajah yang nampak marah. "Buka atau saya tabrak," suara dingin pemuda itu membuat aura mencekam.

Satpam sekolah yang semula ingin memarahi pemuda itu jadi menelan ludah membukakan gerbang untuk pemuda itu.

Laskar menjalankan motornya begitu saja tanpa sepatah kata pun. Pemuda itu mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi seperti orang kesetanan. Suara gemetar adik perempuannya terngiang jelas di kepalanya. Laskar semakin mempercepat laju motornya. Tak peduli dengan umpatan pengguna jalan lain. Yang terpenting baginya saat ini adalah Ibunya dan Adiknya.

"Kak, Ayah sama Ibu berantem."

"Pulang, Kak. Aya takut."

SECRET(TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang