Part 19

7 5 0
                                    

19~~~~~~~~~~MENYERAH?
___________________________________________________

“Ada banyak hal yang semakin digenggam erat, semakin hilang.”












Telinga Belva tersumbat earphone yang mengalunkan lagu berjudul 'Weak' milik Larissa Lambert. Mata Belva fokus pada buku yang kini Ia baca. Gadis itu sesekali tersenyum hanyut dalam bacaannya. Andai saja Ia bisa mendapatkan pria seperti tokoh novel yang Ia baca ini. 

Belva jadi teringat dengan kekasihnya. Sudah satu minggu lebih mereka tidak bertemu hanya sesekali bertukar kabar lewat ponsel. Dirinya yang fokus pada olimpiadenya dan lelaki itu yang sibuk mengurus pensi yang akan diadakan kurang lebih satu bulan lagi. Ah dia jadi ingat, kemarin lelaki itu mengucapkan selamat karena Ia sudah memenangkan lomba olimpiadenya.

Belva jadi menutup novelnya, tangan gadis itu terangkat menopang dagunya. Gadis itu kini tersenyum mengingat saat Ia di dufan bersama dengan Laskar. Memang hanya satu hari, ah bahkan hanya beberapa jam. Tapi rasanya kenangan-kenangan di tempat itu tak akan pernah Belva lupakan. Ingatan Belva kembali melayang saat Ia dan Laskar duduk berdua menikmati senja di pinggir Pantai. Kemarin setelah pulang dari Dufan, Laskar mengajaknya ke sebuah pantai.  Senyum Belva terbit mengingat betapa romantisnya Laskar, membeli sebuah kelapa muda untuknya dan untuk pemuda itu. Belva jadi senyum-senyum sendiri mengingat perkataan pemuda itu.

"Kak Laskar sengaja si cuma beli satu biar terkesan lebih romantis aja. Tadi Kak Laskar cek di google, katanya kalo makan belum makan sepiring berdua berarti belum afdol sebagai sepasang manusia yang saling mencintai. Karna di sini gak ada makanan, jadi kelapa muda aja."

Belva jadi terkekeh geli mengingat ekspresi pemuda itu saat menjelaskan. Ia juga tak mengerti apa yang terjadi pada kekasihnya kenapa tiba-tiba jadi serandom itu. Belva yang awalnya bahagia berbunga-bunga jadi tersentak mengelus keningnya yang terasa sakit karena membentur permukaan sebatang coklat. Gadis itu menoleh menemukan seorang pemuda tampan dengan jersey basket melekat di tubuhnya.

"Sakit ya!" seru Belva pada pemuda yang kini mendudukkan diri dengan santai di sampingnya. Badan pemuda itu berkeringat, sepertinya pemuda itu baru saja selesai berlatih basket. "Lo ngapain sih?" sebal Belva pada pemuda di sampingnya.

"Duduk nih, buta mata lo?" jawab pemuda itu dengan tengilnya. Pemuda itu menyerahkan sebatang cokelat yang tadi Ia gunakan untuk mengetuk kening Belva. "Nih, anggep aja hadiah karena kemarin lo udah menang olimpiade."

"Lah, kan lo juga menang. Kita setim, pikun lo?" ujar Belva dengan nada sinis. Ia masih sebal dengan pemuda ini, sedang asyik mengkhayal malah diganggu. Rasanya Belva ingin memukul kepala pemuda di depannya.

"Iya. Sebagai ucapan selamat aja personalitas. Dan ucapan terima kasih karena lo udah berjuang jadi gue ikut menang,” ujar pemuda itu. Pemuda itu kini beralih menatap lurus ke depan.

"Gue terima nih. Makasih,” Belva menerima uluran cokelat dari tangan pemuda itu. Gadis itu mulai memakan cokelat pemberian pemuda itu. Belva tak menyadari bahwa pemuda di sampingnya sudah mengalihkan pandangan memperhatikan gadis itu makan.

"Lo ngelamunin apaan? Gak serem sama ni tempat? Udah sendirian malah bengong. Senyum-senyum sendiri lagi,” tutur pemuda itu dengan nada tengilnya meledek gadis di sampingnya.

Belva yang awalnya hendak memakan cokelat di tangannya jadi menoleh sebal pada pemuda di sampingnya. "Ngeledek gue?" gadis itu bukan menjawab malah kembali bertanya pada pemuda di sampingnya.

"Eh, lupa gue. Mana berani kan setan masukin lo. Lo kan serem,” ledek pemuda itu.

"Adimas, biasanya sih yang suka ngomongin orang jelek tuh lagi ngomongin diri sendiri,” ujar Belva dengan santai memasukkan sepotong cokelat ke mulutnya.

Dimas yang mendengar ucapan gadis itu jadi menoleh menaikkan alis. Tangan pemuda itu terulur menarik rambut gadis itu. "Dakocan dakocan ala gendir kosong,” Dimas masih menarik-narik rambut Belva tanpa dosa.

Belva jadi merasa terganggu dengan tingkah pemuda itu. Ia menepis tangan Dimas membalas perbuatan pemuda itu dengan menarik rambut pemuda itu yang berada di dekat telinganya. Belva menariknya dengan kuat dan berlari menghindari serangan pemuda itu.

“Ck, bar bar bener,” Dimas mengusap rambutnya yang ditarik oleh Belva. Ini benar-benar menyebalkan niat hati Ia mengerjai gadis itu, tetapi kenapa malah Ia yang kena. "Belva parah banget udah dijenggit, ditinggal lagi. Gini amat cinta dalam diam,” gerutu Dimas menatap bungkus cokelat yang berada di bangku itu.

●●●●

Di sisi lain seorang pemuda sedang sibuk menyiapkan acara yang akan diadakan satu bulan lagi. Ia menghela napas lelah, ini sudah pukul lima sore dan persiapan acara belum matang. Kepalanya mendadak terasa pening melihat kinerja anggota OSIS yang baru tidak sebaik yang Ia bayangkan.

Pemuda itu duduk di kursi yang berada di ruang OSIS. Tangan pemuda itu memegang lembaran - lembaran kertas berisi perencanaan acara pensi tahunan ini. Mulut pemuda itu tak henti-hentinya menggerutu menyalahkan pemilihan anggota OSIS yang baru. Sepertinya ada yang tidak beres, bagaimana bisa nyaris 55% anggota OSIS baru tidak memiliki kinerja yang baik. Bahkan proposal saja belum selesai, padahal seharusnya ini sudah menuju persiapan panggung.

"Lo minum dulu,” pemuda itu menoleh menatap temannya yang memberikan sebotol minuman dingin kepadanya.

"Ini kenapa proposal bisa ancur gini sih? Kenapa data-datanya gak valid?" tanya pemuda itu pada temannya yang kini mendudukkan diri di sampingnya.

"Kemarin kita coba buat serahin urusan ini sama adek kelas. Niatnya biar sekalian belajar, tapi hasilnya malah begini,” jelas teman pemuda itu. "Lo tenang aja jangan panik gitu. Gue udah suruh angkatan kita buat bikin yang cadangan."

Pemuda itu menganggukkan kepala mendengar penjelasan temannya. "Van, menurut lo gue bisa bertahan ga?" tanya pemuda itu membuka pembicaraan.

Evan yang menyadari ke mana arah pembicaraan sahabatnya yang satu ini menegakkan tubuh. Pemuda jangkung itu meletakkan minuman yang semula berada di tangannya ke atas meja. Ia menatap temannya yang menundukkan kepala. "Kenapa lo harus mikir ke sana? Gue udah bilang kan, jalanin aja. Lo punya hak buat milih, Kar. Lo ga bisa kaya gini, mereka ga bisa maksa lo buat tanggung jawab atas kesalahan yang bahkan gak pernah lo perbuat."

Laskar menghela napas, meneguk minuman yang berada ditangannya. Pemuda itu menelan minuman itu dengan kasar. Menenangkan diri agar tidak terbawa emosi. Sebenarnya topik ini terlalu sensitif untuknya. Tapi Ia juga membutuhkan tempat bercerita. "Gue sayang di, Van. Lo tau sedalam apa perasaan gue selama ini ke dia. Gue selalu ngerasa bersalah pas natap mata dia. Rasanya gue sesek sendiri, kaya ngasih harapan semu buat dia."

Evan jadi tertegun mendengar ucapan Laskar barusan. Ia menghela napas kasar memalingkan wajahnya menatap pintu ruang OSIS yang tertutup. "Gue udah bilang, lo ga harus bertanggung jawab karna kesalahan yang ga pernah lo perbuat."

Laskar menggelengkan kepala menolak pernyataan sahabatnya. "Apa gue akhirin aja?"

SECRET(TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang