7. No More

6.5K 942 53
                                    

----------------------Garis Senja---------------------------------

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

----------------------
Garis Senja
---------------------------------

Sunoo membungkuk di wastafel, mengeluarkan semua cairan menjijikan yang terdorong dari dasar perut melalui mulutnya. Sementara Sunghoon sedari tadi memijat tengkuknya, membantu Sunoo mengeluarkan cairan tersebut tanpa merasa jijik sedikit pun.

Setelah selesai, Sunoo segera mencuci mulutnya kemudian menatap dirinya yang kacau dipantulan cermin. Penampilannya sangat acak-acakan dan dia merasa sangat lemas.

Sunoo sudah tidak ingin muntah lagi, lelaki manis itu mundur menjauhkan dirinya dari wastafel kemudian duduk di lantai kamar mandi dengan pasrah.

“Ingin ku ambilkan minum?”

Sunoo menoleh ke orang di sampingnya dengan tatapan sendu. Ah, Sunghoon mengikutinya.

Sunoo menggeleng, menolak tawaran lelaki itu.

Tapi, bukannya Sunghoon kalau tidak keras kepala. Ia menatap tajam Sunoo lalu berkata, “Ck, kau harus minum.”

Akhirnya, kalimat itu yang keluar dari mulut Sunghoon. Kemudian lelaki itu mundur beberapa langkah, matanya terus mengawasi Sunoo sebelum pergi. Tidak lama, Sunghoon kembali dengan sebotol air mineral.

Sunghoon berjongkok di samping Sunoo dan menyodorkan sebotol air mineral yang langsung di sambut oleh Sunoo. Sunoo meneguk minumnya sampai tersisa setengah botol. Lelaki manis itu lalu menutup botol itu dan menoleh ke arah Sunghoon. Masih dengan tatapan sendu.

“Maaf merepotkanmu.”

Sunghoon diam. Hanya menatap Sunoo tanpa berniat merespon.

Setelah dirasa cukup kuat, Sunoo bangkit dari duduknya, kemudian dia berjalan menuju brankar sambil berpegangan pada dinding karena kepalanya masih terasa pusing. Sementara Sunghoon hanya mengawasi dari belakang, memperhatikan Sunoo yang sedikit kesusahan naik ke brankar. Sunghoon berdecak melihatnya. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Sunghoon merapatkan tubuhnya pada Sunoo lalu menggendong lelaki manis itu untuk membantunya naik ke brankar.

Sunoo tersentak, namun ia tidak bereaksi apapun setelahnya. Kejadian ini begitu cepat.

Sunoo menggeleng pelan kala Sunghoon menarik dirinya dan kembali merebahkan tubuh di sofa. Tanpa berniat memikirkan apapun, Sunoo ikut merebahkan diri lalu memejamkan matanya, menghindari kontak mata dengan Sunghoon yang masih terus menatapnya.

Tidak lama setelahnya, Sunoo mendengar helaan napas berat Sunghoon yang membuatnya kembali membuka mata. Dilihatnya Sunghoon yang berjalan meninggalkannya keluar ruang UKS, membuat Sunoo langsung menatap ke arah langit-langit sambil mengulum bibir.

Ternyata Sunghoon tidak mau direpotkan lagi.

***

Pukul satu siang, Sunoo sudah diperbolehkan untuk pulang dan beristirahat di rumah karena kondisinya yang tidak memungkinkan untuk kembali mengikuti KBM. Ranselnya sempat dibawakan oleh Bu Irene selaku wali kelas.

Tadi beberapa kali Bu Irene menawarkan diri untuk mengantar Sunoo pulang dan semua itu dia tolak. Sudah cukup merepotkan satu orang yang bahkan Sunoo tahu orang itu tak ingin membantunya.

Sunoo terus berjalan di bawah matahari yang tengah terik-teriknya, sesekali ia beristirahat di halte atau di bawah pohon untuk memijat kepalanya yang masih terasa pusing.

Sunoo masuk ke salah satu ATM untuk menarik uang yang lusa dikirim sang Ayah. Kalau kalian bertanya dimana Tuan Kim, jawabannya adalah pria itu tinggal di Iksan untuk sementara waktu karena pekerjaannya. Tuan Kim akan sesekali mendatangi Sunoo di rumah mereka, setelah itu kembali ke Iksan. Mereka hanya hidup berdua, karena Nyonya Kim sudah meninggal lima tahun yang lalu.

Sunoo tersenyum lega saat melihat nominal uang yang terpampang jelas di layar ATM. Tertera nominal uang sembilan ratus ribu won yang akan ia tarik. Hal itu tentu untuk membayar sewa rumah, biaya sekolah, dan uang makan sehari-hari.

Setelah dari ATM, Sunoo masuk ke salah satu apotek untuk membeli obat-obatan yang dia perlukan. Seperti obat magh dan obat sakit kepala. Entahlah, dia sudah sering membeli obat ini namun efeknya tidak kunjung ia rasakan. Obat ini seakan hanya penahan dari rasa sakitnya yang tak kunjung sembuh.

***

Hari berganti.

Pagi baru saja tiba, namun jalanan Ibu Kota sudah sepadat ini. Sunghoon beberapa kali menghela napas sambil mengetuk kaca mobil berkali-kali.

“Ah, padat sekali.”

Suara sang Ayah, Tuan Park, membuat Sunghoon menoleh sekilas ke arah pria itu. Ya, kini Sunghoon tengah berada di mobil keluarganya. Hari ini dia tidak membawa mobil sendiri karena mobilnya tengah di servis.

“Iya, Tuan. Tidak biasanya,” jawab sang supir tepat di samping Sunghoon.

“Sabar, Paman.” Yeji, saudara kandung dari Sunghoon bersuara.
Tuan Park tersenyum lalu mengelus puncak kepala bocah yang masih berusia tujuh tahun.

“Ayah, temen sekelas aku ada yang jahatin. Namanya Stef. Aku kasihan sama Stef, Yah.” Cerita Yeji barusan seakan menampar Sunghoon. Lelaki itu lantas menghentikan kegiatannya mengetuk jendela dan fokus mendengarkan cerita sang adik.

“Stef itu perempuan atau lelaki?” tanya Tuan Park dengan nada menggoda.

Yeji merengut lalu menepuk pelan lengan kokoh sang Ayah. “Dia perempuan, Ayah.”

Tuan Park mengangguk. “Kalau gitu, kamu tidak boleh ikut jahatin dia. Jangan ikutin teman-teman kamu. Kalau kamu ikut-ikutan jahatin Stef, nanti kamu di sentil sama Tuhan. Mau?”

Yeji bergidik takut mendengar penuturan Tuan Park. “Yeji tidak mau.”

“Maka dari itu, jadilah orang yang baik. Jangan menyerah untuk bersikap baik walau di tengah orang-orang jahat. Karena setiap perbuatan baik tidak ada yang sia-sia,” nasihat Tuan Park, “Ingat, jangan jadi orang jahat dan jangan pernah jadi alasan orang lain untuk bersedih. Ayah tidak ingin kamu disentil Tuhan.”

Yeji tersenyum sambil mengangguk, berbeda seratus delapan puluh derajat dengan Sunghoon yang terdiam menerawang. Hei, apa maksud ini? Apa mereka tengah menyindirnya? Oh maaf, tapi sindiran mereka barusan benar-benar tidak mempan.

“Oppa!”

“Oppa!”

“Sunghoon oppa!!”

Sunghoon tersentak lantas menoleh ke kursi belakang. “Ada apa?”
“Oppa tidak ingin turun?”

Sadar, Sunghoon lalu menoleh ke sekeliling. Ah, sejak kapan mereka sampai di sekolahnya.

“Hm, Sunghoon pergi.” Lelaki itu pamit pada Pak Supir, Tuan Park, dan Yeji.

“Belajar yang rajin, Sunghoon,” petuah sang Ayah yang langsung dibalas anggukan oleh Sunghoon.

Sunghoon turun dari mobil lalu mulai melangkah memasuki gedung sekolah. Sampai pada post satpam, langkah lelaki itu terhenti kala tak mendapati seorang lelaki manis yang sudah seminggu ini menjadi pesuruhnya. Kemana dia?

Sunghoon berdecak lalu menyenderkan tubuh pada pohon besar, bermaksud menunggu sambil memainkan ponsel. Lelaki itu sama sekali tidak menghiraukan tatapan-tatapan memuja yang dilayangkan para gadis-gadis yang melewatinya. Ah, apa perdulinya?

“Ck, kemana perginya si bisu?” rutuk Sunghoon pelan. “Awas saja bertemu di kelas.”

***

TBC

[END] Garis Senja || SungsunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang