Prolog

259 48 42
                                    

"Kev, lu berencana masuk BEM universitas?" tanya Alea.

Saat ini, ia dan Kevin berada di perpustakaan pusat. Mereka berbicara ala-ala agen rahasia—pura-pura mencari-cari buku di rak, mengobrol pelan, tidak ingin terlihat jelas jika sedang berkomunikasi.

Sebenarnya, hanya Alea saja yang ingin seperti ini. Karena ia takut, jika para gadis di lingkungan Kevin, melihat ia bersama pria itu.

Pasalnya, semenjak kuliah, Kevin begitu popular, karena aktif dan berprestasi. Banyak gadis mengaguminya, apalagi rekan yang seorganisasi dengan Kevin. Berbeda dengan Alea yang hanya mahasiswi Psikologi biasa-biasa saja.

Ya, Alea insecure. Ia tidak percaya diri, bahkan hanya untuk berdiri di sebelah sahabatnya itu.

"Enggak, Le. BEM fakultas aja," jawab Kevin sambil melihat anatomi tubuh manusia di buku tebal yang sedang dibukanya.

Entah mengapa, ia membawa buku ini yang sudah jauh dari raknya.

"Kenapa? Lu kan pantes buat itu. Senior-senior juga persiapin lu jadi ketua—"

"Alea Kusuma!" Kevin menutup buku. Ia menoleh ke arah gadis yang berdiri di sebelahnya. "Semenjak kuliah, lu agak menjauh dari gue. Sekarang, lu nyuruh gue ikut BEM univ? Lu beneran gak mau ngeliat gue lagi?"

Alea menoleh ke sekeliling. Syukurlah, tak tampak orang di sekitar, karena mereka berada di antara rak-rak buku. Ia memukul pelan buku di tangan Kevin, menyuruh pria itu untuk kembali pura-pura membacanya. "Kev, gue cuma mahasiswi biasa, gak usah lu pikirin. Karena yang paling penting, lu harus terus bersinar, dan hebat!"

"Bukannya dulu, lu yang selalu mendampingi gue? Menjaga gue?"

Alea terdiam. Benar, ya, benar sekali. Ia menggigit bibir, berpikir sampai-sampai kedua alis menyatu. "Maaf, kalau semenjak kuliah, gue berubah," ungkapnya tulus. Ia memandang Kevin, yang juga sedang menatapnya. "Kalau begitu ... gue akan berjuang keras, untuk berjalan menuju lu, Kev. Supaya bisa berdampingan, dan sepadan sama lu."

"Le ...," panggil Kevin lembut. "Lu tahu, kenapa gue ambil jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial di FISIP? Bukannya Ilmu Politik?"

Alea menggeleng. Ia dulu pernah bertanya, tapi Kevin tidak menjawab. Padahal, pria itu memiliki passion di politik.

"Karena lu pernah bilang ... lu punya impian supaya masyarakat luas sadar akan pentingnya masalah psikis. Lu mau bangun banyak tempat untuk konsultasi serta penyuluhan pada masyarakat." Kevin menghadapkan tubuh sepenuhnya ke Alea. Ia tersenyum. "Kalau lu bekerja keras demi kesejahteraan dari faktor dalam, gue faktor luarnya. Gue mau impian kita sejalan, demi kesejahteraan masyarakat."

Alea terdiam, ia tak dapat berkata-kata. Selama di bangku perkuliahan ini, ia berpikir, kalau ia harus segera bangkit dan bekerja keras menuju Kevin, agar pantas berdampingan dengannya. Tetapi ternyata, pria itu sudah memikirkan terlebih dahulu, agar mereka terus berdampingan hingga di masa depan nanti.

Benar-benar di luar dugaannya.

*****



"Jadi, menciptakan inovasi orisinil dari perusahaan serta perubahan strategi pemasaran, merupakan solusi yang baik. Media sosial ini harus memiliki fitur khusus yang menjadi ciri khasnya sendiri, selain memiliki fitur umum yang memang telah ada. Serta, upaya pemasaran agar menjadikan media sosial ini sebagai aplikasi nomor satu kebanggaan bersama di negara ini."

Semua orang bertepuk tangan dengan kagum, termasuk Gevan. Dia yang paling heboh.

Di FEB, khususnya jurusan manajemen, Reline terkenal cerdas. Ia memiliki ide-ide baru, dan pemikiran yang kritis. Meski begitu, ada beberapa mahasiswi yang tidak senang melihatnya.

BABEGI & SAYYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang