BAB 9

1.5K 57 10
                                    

Tiga hari kemudian, Randy pulang dari dinas luar kotanya. Tepat jam 10 pagi, Randy tiba dirumahnya. Randy membersihkan dirinya lalu sarapan ditemani juga oleh Zia istrinya. Setelah selesai, Randy pun beristirahat di kamarnya. Zia merapihkan semua barang bawaan Randy suaminya.

Selama tiga hari sebelumnya, saat Randy berada di Sukabumi, Zia akhirnya memutuskan untuk bicara pada Randy agar Randy mau menikah lagi dengan wanita lain. Zia sudah memantapkan keputusannya. Zia hanya ingin Randy bahagia tak peduli jika ia harus mengorbankan perasaannya. Zia akan menunggu Randy bangun dari tidurnya untuk bicara padanya.

Jam menunjukkan pukul 2 siang. Zia sedang duduk di ruang tamu sambil membaca novel. Namun Zia berhenti membaca novel itu saat ponselnya bergetar. Zia mengambil ponsel yang ia letakkan diatas meja. Ia melihat nama kakaknya, mba Tiara di layar ponselnya. Zia pun mengangkat telepon dari kakaknya itu.

“halo mba” ucap Zia

“halo Zi. Kamu harus pulang sekarang juga Zi” ucap mba Tiara dengan terburu-buru

“ada apa mba?” tanya Zia yang panik mendengar ucapan mba Tiara

“ibu…ibu… meninggal Zi” ucap mba Tiara

Bagai tersambar petir, Zia terkejut mendengar berita itu. Karena selama ini ibu tirinya tak pernah jatuh sakit dan masuk rumah sakit. Kenapa begitu mendadak? Belum sembuh hati Zia mendengar ucapan kakek Syarief, kini Zia harus mendengar kabar buruk dari keluarganya. Walaupun ibu tirinya tak pernah baik padanya, namun Zia masih menganggapnya seorang ibu.

“oke mba Zia pulang sekarang” Zia menutup teleponnya dan bergegas menuju kamarnya

“mas…mas… bangun mas” Zia menangis membangunkan Randy suaminya

“kamu kenapa nangis? Ada apa sayang?” Randy yang terbangun pun terkejut melihat Zia istrinya meneteskan air matanya

“kita harus pulang kerumah ayah sekarang mas. Ayo mas” ucap Zia terburu-buru

“hey..hey..ada apa? Tenang dulu Zi” Randy memegang kedua bahu Zia dan mencoba menenangkannya

“ibu..ibu meninggal mas. Ayo kita pulang sekarang” ucap Zia sedih

“innalillahi wainna illaihi rojiun. Ayo kita pulang sekarang” Randy bangun dari tempat tidur dan segera mencuci mukanya. Mereka mengganti pakaian mereka dan langsung keluar rumah mereka.

Randy melajukan mobilnya dengan cepat namun hati-hati. Selama di perjalanan, Randy berusaha selalu menenangkan Zia istrinya. Namun Zia masih terlihat sedih dan gelisah. Randy tahu bahwa Zia pun tak percaya mendengar berita itu. Tapi Randy juga berusaha membuat Zia menyadari kenyataan pahit itu.

Tepat jam 4 sore, mereka tiba dirumah ayah Zia yang berada di kota Depok. Terlihat bendera kuning tergantung di depan rumahnya. Rumah ayahnya pun terlihat ramai oleh sanak saudara juga para tetangga. Zia dan Randy masuk kedalam rumah melihat tubuh ibu tirinya yang sudah terbujur kaku ditutupi kain jarik. Disekelilingnya banyak orang sedang membacakan ayat suci Al-Qur’an. Zia melihat ayahnya yang juga sedang membaca ayat Al-Qur’an tepat disamping tubuh ibu tirinya. Air mata Zia jatuh semakin deras hingga ia tak bisa melihat dengan jelas. Zia menghampiri ayahnya, dan memeluknya dengan sangat erat. Ayahnya pun menangis sejadi-jadinya dipelukan Zia.

Waktu berlalu hingga proses pemakamanpun telah selesai. Zia memutuskan untuk menginap dirumah ayahnya selama beberapa hari kedepan. Randy juga menginap dirumah ayah Zia untuk menemani mereka. Mereka mengadakan pengajian di setiap malam selama tujuh hari tujuh malam. Selama itu pula Zia belum mendengar ayahnya bicara selain hanya menjawab pertanyaan dari Zia juga mba Tiara dengan singkat. Siang itu, hari ke delapan Zia berada dirumah ayahnya, Zia melihat ayahnya sedang duduk termenung di teras depan rumah. Menatap kosong halaman depan rumahnya.

“ayah” Zia menghampiri ayahnya dan duduk disebelah ayahnya. Namun ayahnya hanya diam tak bicara sedikitpun

“ayah, ayah harus bangkit dan kuat melewati semua ini. Zia minta maaf karena Zia gak ada disamping ibu saat ajal menjemputnya. Maafin Zia ya ayah” ucap Zia yang sedih melihat ayahnya yang diam termenung

“Zi” ayahnya mulai berbicara

“iya ayah” ucap Zia

“ayah dan ibumu selama ini sudah jadi orang tua yang gagal buat kamu dan kakak kamu. Tolong maafkan ibumu Zi. Agar dia bisa tenang disana” ucap ayahnya

“Zia sudah memafkan ibu, yah. Setiap Zia melihat ibu, Zia selalu memaafkan ibu. Dan juga ayah dan ibu gak pernah gagal jadi orang tua buat Zia juga mba Tiara” ucap Zia

“maafin ayah yang selama ini gak pernah percaya sama ucapan kamu dan gak pernah berada di pihak kamu” ayah meneteskan air matanya

“gak ayah. ini semua salah Zia yang gak pernah nurut sama ayah dan ibu. Ayah jangan pernah menyalahkan diri ayah lagi” Zia memegang tangan ayahnya

“sebelum meninggal, ibumu menceritakan semuanya. Ibumu ingin sekali meminta maaf sama kamu karena sudah bersikap jahat sama kamu. Namun belum sempat ibumu meminta maaf sama kamu, Allah sudah memanggilnya terlebih dahulu. Ibumu iri dengan kecantikan dan kepintaranmu. Ibumu takut ayah hanya memperhatikanmu dan melupakan dia. Makanya dia bersikap jahat sama kamu. Tolong maafkan ibumu Zi” ayah menangis tersedu-sedu

“ayah. Zia beneran udah maafin ibu. Zia tau ibu sebenarnya sayang sama Zia. Zia tau ibu orang baik. Zia sudah mengerti sejak lama kenapa ibu bersikap begitu sama Zia. Jadi Zia mohon ayah sekarang harus kembali kuat supaya bisa melanjutkan kehidupan ayah dengan baik lagi” ucap Zia. Ayah semakin menangis tersedu-sedu mendengar ucapan Zia. Namun berkat ucapan Zia, ayahnya kini mau berbicara kembali. Ayahnya mulai menguatkan dirinya dan kembali memulai semua kegiatannya seperti semula.

Hari kesembilan, Zia dan Randy pulang kembali ke Jakarta. Zia menawarkan ayahnya untuk tinggal bersamanya, namun ayahnya menolak. Ayahnya juga menolak ajakan mba Tiara kakaknya untuk tinggal bersama. Tak ingin memaksa, Zia dan Randy pun pamit pulang pada ayahnya. Selama di perjalanan, Randy melihat Zia diam termenung menatap kosong jendela mobilnya.

“Zi, kamu gak apa-apa?” tanya Randy yang khawatir dengan keadaan Zia

“Zia gak apa-apa kok mas. Cuma masih berduka aja. Hal wajar mas” jawab Zia sambil melemparkan senyum kecil pada suaminya

“yang sabar ya sayang. Tugas kita sekarang doain ibu selalu agar ibu tenang disana” ucap Randy

“iya mas. Makasih banyak ya mas” ucap Zia

Selain masih berduka, Zia sebenarnya juga memikirkan ucapan kakek Syarief tempo hari padanya. Zia masih belum sempat bicara dengan Randy tentang hal itu. Zia merasa belum siap bicara dengan Randy setelah kejadian semua ini.

Beberapa jam kemudian, Randy dan Zia tiba dirumah mereka. Zia yang memiliki banyak hal yang ia pikirkan pun langsung menuju kamarnya dan merebahkan tubuhnya. Randy menuju dapur, membawakan air mineral beserta vitamin agar Zia istrinya tak jatuh sakit. Randy membawa air dan vitamin itu menuju kamarnya dan memberikannya pada Zia. Zia meminumnya tanpa bicara sepatah katapun.

Keesokan harinya, Randy terpaksa meninggalkan Zia istrinya dirumah karena harus bekerja. Banyak hal tertunda saat Randy menginap dirumah ayah Zia. Zia tak keberatan akan hal itu dan mengizinkan Randy bekerja.

“sayang, kakek katanya mau kesini. Mas udah bilang sih kalau mas pulang malam. Kakek katanya mau ketemu kamu jadi kakek tetap datang kesini dan mungkin gak akan nunggu mas pulang. Gak apa-apa kan?” tanya Randy

“iya mas gak apa-apa. Zia baik-baik aja kok” jawab Zia

“yaudah kalau gitu mas berangkat dulu. Kalau ada apa-apa langsung telepon mas ya” Randy mencium kening Zia dan berjalan menuju mobilnya. Supir pribadinya pun melajukan mobilnya menuju ke kantornya.

Zia kembali masuk kedalam rumah dan duduk di ruang tamu. Zia berpikir mungkin kakek Syarief datang untuk membicarakan hal yang tempo hari ia ucapkan padanya. Zia berusaha menyiapkan hati dan pikirannya untuk bertemu dengan kakek Syarief nanti.

Jam menunjukkan pukul 2 siang. Sebuah mobil mewah masuk kedalam rumah Zia dan berhenti tepat di depan pintu masuk rumahnya. Zia melihat dari balkon lantai dua rumahnya, kakek Syarief turun dari mobil itu seorang diri tanpa ditemani oleh Melisa. Zia bergegas turun untuk menghampiri kakek Syarief. Zia mencium punggung tangan kakek Syarief dan mempersilahkan kakek Syarief untuk duduk di ruang tamu. Tak lama, ART membawa dua cangkir teh hangat dan meletakkannya diatas meja ruang tamu.

“saya turut berduka atas wafatnya ibu kamu Zi” ucap kakek Syarief membuka pembicaraan

“terimakasih banyak kek” ucap Zia. Kakek Syarief menyeruput teh hangat miliknya dan terdiam selama beberapa detik.

“mungkin kamu akan bilang saya orang paling egois dan jahat di dunia ini. Tapi saya tak ingin masalah ini berlarut-larut Zi” ucap kakek Syarief tiba-tiba

“apa kamu sudah bicara dengan Randy tentang permintaan saya?” tanya kakek Syarief. Zia paham apa yang dibicarakan kakek Syarief

“belum kek. Zia belum sempat bicara sama mas Randy karena sibuk dengan pemakaman dan pengajian ibu kemarin” jawab Zia sambil sedikit menundukkan kepalanya

“sekarang kamu sudah gak sibuk kan? Tolong segera bicara dengan Randy, Zi. Saya semakin tua” ucap kakek Syarief. Dada Zia terasa sangat sakit dan matanya berlinang air mata

“iya kek, nanti malam Zia usahakan bicara dengan mas Randy” jawab Zia

“saya sudah bicara dengan pak Haris. Dan pak Haris bilang Diah sebenarnya juga tertarik pada Randy. Jadi sekarang tinggal tunggu keputusan Randy. Dan kamu yang harus bicara dengan Randy” ucap kakek Syarief yang membuat Zia terkejut. Bagaimana bisa seorang wanita tertarik pada lelaki yang sudah menikah.

“iya kek. Malam ini Zia akan bicara baik-baik ke mas Randy” ucap Zia

“iya lebih cepat lebih baik” ucap kakek Syarief

Beberapa menit kemudian, kakek Syarief kembali pulang menuju rumahnya. Zia masuk kedalam kamarnya dan memikirkan apa yang harus Zia ucapkan nanti pada Randy suaminya. Zia merebahkan tubuhnya diatas kasur dan tanpa sadar ia meneteskan air matanya. Kini Zia harus siap berbagi suami dengan wanita lain.

Storm (21+) [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang