"Happy reading"
Gimana kabar kalian?
Oke sok jangan lupa di vote yah.
***
Malam kali ini benar-benar gelap. Langit terasa sepi, tidak ada bintang bahkan bulan. Awan gelap itu hanya sesekali mengeluarkan setetes demi setetes air, tidak ada angin atau suara petir yang bersahutan, bahkan suara jangkrik dan yang lainnya pun tidak terdengar. Malam itu benar sepi, seperti hati lelaki yang kini terduduk dengan rokok terselip di sela jarinya.
Lelaki itu terkekeh kecil, dia mengepalkan tangannya kuat mengabaikan rokok menyala yang masuk dalam kepalan tangannya. "Aku bersumpah akan membunuh kalian," desisnya tajam. Siapa pun yang berada di dekat lelaki itu pasti merasakan aura tajam pembunuhan.
"Tuan, kita harus kembali dengan cepat." Lelaki itu mendongak menatap tangan kanannya yang berdiri tak jauh darinya. "Maaf, tapi Anda belum memindahkan semua data perusahaan yang ada di sana," lanjut orang itu tegas.
"Kamu tau aku tidak sebodoh itu, Max." Seringai tercetak jelas di bibir lelaki yang menatap tajam tangan kanannya.
Max atau yang orang tau tangan kanannya lelaki itu mengangguk pelan. "Kita harus segara pergi sebelum mereka bergerak cepat, saya berharap Anda tidak melupakan mereka di sana Tuan," terang Max.
"Sial!" Lelaki itu berniat masuk mobil jika seseorang tidak mencegahnya.
"Kamu akan kembali, Sean?" Sean menengokkan kepalanya, menatap datar Ayahnya yang berjarak satu meter.
"Aku melupakan sesuatu di sana," balas Sean.
Alex berdecih sinis. "Aku baru tau ternyata kamu lemah," sindir Alex menatap remeh putranya.
Sean mengepalkan tangannya kuat, ia mendongakkan palanya angkuh. "Setidaknya aku masih bisa mengatasinya sendiri," tukas Sean.
Alex tersenyum miring ia berjalan mendekat dan membisikkan sesuatu di telinga anaknya. "Jangan lupakan, kalau kamu belum bisa mengatasi masalah Cia sendiri," tandas Alex dan berlalu meninggalkan Sean yang hanya diam. Belum jauh Alex kembali bersuara, "Cepat selesaikan masalahmu lalu segera kembali."
Sean benar-benar membeku mendengar penuturan Ayahnya tadi. Dia berdecih sinis, bukankah benar? Mengatasi musuh di mana pun dia selalu berhasil, namun mengapa saat masalah adiknya sendiri dia tak bisa?
"Bukankah aku terlalu lemah, Max?" tanya Sean pelan. Max tak menjawab dia hanya diam, karena jujur menurut Max, Sean hanya belum bisa berdamai dengan masa lalu karena itu sampai saat ini musuh dari masalah adiknya itu belum terselesaikan.
***
"Hai, pagi sayang. Mau sarapan?" sapa Bela riang, berjalan menuju brankar Cia. Gadis kecil itu kini masih berada di kamar ruangan Bela, belum pindah atau bahkan tak 'kan pindah sebelum gadis itu benar-benar sudah bisa menerima kembali keluarganya.
Cia tak menjawab bahkan mengangguk pun tidak dan ini berlaku saat kemarin malam Cia terbangun. Bela hanya bisa menghela sabar, dirinya harus bisa membujuk adik barunya itu setidaknya untuk mau berbicara dengannya.
"Cia mau apa?" tanya Bela lembut. Tangannya setia mengusap-usap lembut rambut Cia. "Cia mau Kakak sedih?" murung Bela, mungkin sekarang dia harus banyak melakukan acting.
Cia masih tetap diam tak bergeming matanya tak lepas dari jendela luar, entah apa yang ada di pikiran gadis kecil itu. "Kakak punya hadiah banyak loh buat Cia," bujuk Bela lagi. "Padahal aku buat bubur banyak, tapi harus dibuang." Bela beranjak dari duduknya, mengambil rantang hendak membuang isinya ke tempat sampah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sorry Little Sister
Roman pour AdolescentsFollow dulu yuk sebelum membaca 😉 Menghadapi sebuah trauma bukanlah hal mudah bagi gadis yang bernama Patricia Carissa Maxiem. Kejadian beberapa tahun lalu membuat dirinya mengalami rasa ketakutan yang berlebihan. Semua keluarganya harus menelan ra...