20. Takdir Tak Pernah Bercanda

1.3K 210 19
                                    

🎡 BIANGLALA 🎡
| 20. Takdir Tak Pernah Bercanda |
.
.
.
.
.
.
.

"Di masa yang lalu, saya tiba-tiba bertemu dengan mu. Hingga jadilah diri saya yang sekarang."

Kalau Hema diberi satu kesempatan untuk mengabulkan permintaan, dia akan mengabulkan permintaannya sendiri. Dia ingin membawa ayah, bunda dan saudara-saudaranya untuk tinggal di tempat yang jauh dari jangkauan manusia mana pun. Karena kata ayah hidup itu seperti permainan mafia. Tidak ada yang bisa dipercaya kecuali diri sendiri dan rekan setim.

Hema hanya ingin hidup mereka tenang. Setenang sepuluh tahun lalu saat dia baru bergabung di keluarga luar biasa ini.

Ini sudah pukul delapan malam. Sudah tiga jam setelah kejadian di mana dia sudah tidak bisa lagi mengontrol emosinya. Tak peduli seberapa ribut tetangga menceritakan mereka. Karena sejak bertahun-tahun keluarga Abimana tinggal di komplek ini, sepertinya baru kali ini terdengar suara gaduh dari rumahnya.

Hema tak mengucapkan apa-apa setelah bunda melepaskan pelukannya. Anak itu langsung berlari ke lantai atas, masuk ke dalam kamarnya, menutup pintu rapat-rapat lalu duduk di sisa ruang yang ada di antara lemari dan tempat tidurnya.

Dia menekuk lututnya, memeluknya kemudian menangis lagi. Kali ini lebih pilu dari sebelumnya. Bahkan hingga matahari berganti dengan bulan redup, Hema tak ada niatan untuk keluar dari kamar. Bahkan kain jendela masih tetap tertutup juga lampu kamar masih padam. Kamarnya gelap gulita saat ini.

Karena Hema bukan penakut gelap seperti Jean, Hema akan lebih baik-baik saja dalam keadaan seperti ini. Gelap adalah definisi tenang baginya. Hema hanya ingin seperti ini dulu sedikit lebih lama.

"Hem?"

Hema mendongak, menatap pada pintu yang tak terlihat jelas wujudnya. Satu-satunya tanda bahwa benar itu pintu adalah cahaya dari luar yang masuk dari sela-selanya.

"Makan dulu yuk?"

Itu suara Rendra. Entah kenapa tangis Hema semakin menjadi. Dia mengingat pada kata-kata yang pernah dia ucapkan beberapa minggu yang lalu, "Orang tuaku udah meninggal, Mas. Nggak ada yang mau ambil aku lagi."

Mungkin sekarang saudara-saudaranya sedang mendesis kesal sebab kata-kata Hema hanyalah omong kosong belaka. Nyatanya masih ada orang yang ingin membawanya pulang. Nyatanya masih ada orang yang ingin merebutnya kembali.

"Hema? Kalau nggak mau makan, seenggaknya hidupin lampunya! Nggak engap begitu?"

Dari sela-sela ventilasi jendela, Hema bisa melihat bulan redup malam ini. Bentuknya bulat sempurna, tapi cahayanya tak demikian. Awan hitam tipis-tipis menutupinya. Selain redup, bulan malam ini juga kesepian sebab bintang-bintang meninggalkannya entah kemana.

Hema sering melihat keadaan langit malam yang seperti ini. Memerhatikan bulan kesepian dengan harap agar bulan itu tidak terlalu menyedihkan. Kadang Hema juga berpikir, dengan siapa bulan akan bercerita jika sedang kesepian? Dengan siapa bulan akan mengadu jika bintang meninggalkannya sendiri?

Sama seperti dirinya jika ayah tidak membawanya ke rumah ini. Dengan siapa Hema akan mengadu? Pada siapa Hema akan bersandar?

Suara Rendra masih terdengar dari balik pintu. Hema tersenyum miris. Tak seperti bintang yang sering meninggalkan bulan sendiri, saudara-saudaranya selalu ada untuk dirinya.

"Hem, mau Mas ambilin nasinya? Makan di kamar, ya? Mau, kan?"

Hema kemudian berdiri. Berjalan terhuyung ke arah pintu. Suara lembut Rendra membuatnya begitu lemah. Bahkan tangisnya yang masih berlangsung pun tak bersuara sebab terlalu pilu.

BIANGLALA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang