🎡 BIANGLALA 🎡
| 22. Hari Ketika Kami Tertawa |
.
.
.
.
.
.Semilir lembut angin di malam Minggu yang cerah ini menjadi penjelas begitu merdunya kolaborasi antara suara Rendra dan Hema. Diiringi genjreng renyah gitar Jean yang tak pernah gagal menemui nada. Sejak awal lagu ini dinyanyikan, di sudut kain yang dibentangkan di halaman belakang rumah keluarga Abimana, Najaka sudah memotret apa yang dikiranya harus diabadikan. Misalkan saat Rendra reflek menjambak rambut Hema karena anak itu dengan sengaja memelesetkan nada.
Sedangkan di sisi halaman yang lain, ada Bunda yang dengan telaten memanggang bahan makanan juga Ayah yang membuat sambal kecap, lebih tepatnya hanya mengaduk sambal di mangkuk karena semua bahan sudah disiapkan Bunda. Najaka lantas mendekat, masih dengan kamera yang dia arahkan ke depan.
"Ayah, Bunda, lihat sini! Senyuuuum," ujarnya penuh semangat.
Malam ini bulan bersinar lebih dari biasanya. Bulatnya sempurna dengan bintang bertabur di sekitarnya. Tak kalah dengan bulan dan bintang, senyuman Bunda dan Ayah yang ditangkap oleh kameranya juga sangat cerah.
Di balik kamera yang sibuk merekam, diam-diam Najaka mengulas senyum. Barang kali di kehidupan berikutnya dia tidak akan mendapatkan keluarga yang seperti ini. Kadang dia berpikir, jika dirinya ini bukan seorang Najaka, dia mungkin tidak akan sebahagia ini.
Langit malam selalu menjadi yang paling teduh dari langit-langit yang lain. Jean pernah mengatakan seperti itu. Jika langit diibaratkan manusia, maka langit malam adalah seseorang yang mampu membuat anak itu nyaman berkat pelukannya. Maka Hema dan Rendra setuju dengan sungguh-sungguh. Namun berbeda dengan Najaka, si bungsu itu mengutarakan pertentangan. Menurutnya langit sore lebih sejuk. Ibarat manusia, maka langit sore adalah seseorang yang menggenggam tangannya hangat sembari menyanyikan lagu-lagu lembut yang ceria.
Tapi tidak dipungkiri bahwa apa yang dikatakan ketiga kakaknya itu benar. Bahwa langit malam begitu teduh untuk dinikmati. Dan selain daripada keteduhannya yang serupa bola mata indah milik Bunda, benda-benda di atas sana juga membuat hatinya berkali-kali memuji Tuhan.
"Najaka itu lahir waktu bulan purnama." Ayah datang dengan dua nampan berisi sosis dan jagung bakar. Pria itu kemudian duduk di sebelah Rendra, ikut melihat ke arah bulan purnama di atas sana. "Waktu itu bulannya terang banget, persis kaya sekarang."
Empat kepala di hadapannya kompak menoleh, menunggu Ayah yang sekiranya berkenan melanjutkan cerita. Kemudian Ayah terkekeh sejenak begitu menyadari empat anak laki-lakinya tumbuh dengan cepat.
"Waktu lahir, Naja nggak mau nangis. Ayah sama Bunda udah berdoa terus, Alhamdulillah akhirnya nangis. Tapi setelah itu, Ayah sama Bunda nggak bisa langsung gendong Naja. Butuh waktu lebih dari sebulan baru bisa ngeliat dari jarak dekat dan pegang badannya Naja."
Yang dibicarakan mengangguk sambil bergumam. Ini pertama kali dia diceritakan tentang hari lahirnya. Yang Najaka tahu, dia hanya terlahir prematur dengan kelainan trombosit yang sampai sekarang menjadi satu-satunya masalah di dalam tubuhnya.
Melihat bagaimana Najaka mendengarkan Ayah dengan seksama sukses membuat Rendra tertawa gemas. Dia acak rambut adiknya dengan lucu sembari sedikit mengeluarkan suara menggemaskan.
"Adek waktu bayi nakal banget." Tiba-tiba Bunda datang dengan sebaskom es semangka susu. "Tiap hari buat Bunda nangis, jantungan mulu Bundanya."
"Wehh, kurang ajar lu!" Hema menepuk paha mulus Najaka. Lalu anak itu mendekat pada baskom es buatan Bunda yang menggugah dahaga.
KAMU SEDANG MEMBACA
BIANGLALA ✔
Novela Juvenil#Brothership #NCTDream #00line ❗HARAP FOLLOW SEBELUM MEMBACA "Bianglala membawa kita berempat berputar. Memberi kita kesempatan melihat setiap sisi dunia. Memperlihatkan bahwa semesta selalu punya rahasia." Najaka tahu tak selamanya mereka berempat...