2. Dasi dan Topi

3.3K 374 57
                                    

🎡 BIANGLALA 🎡
| 2. Dasi dan Topi |

.
.
.
.

Ini sudah pukul 7 pagi, namun Tante Sri sama sekali tidak beranjak dari kursi meja makan keluarga Abimana. Mulutnya masih setia berbincang dengan Bunda Astri yang sedang sibuk menceplok telur.

"Ini dia kapan pulangnya, sih?" Di balik tembok yang ada di lantai dua, tepat di ujung tangga, empat bersaudara itu berdiri berjejer. Berusaha agar tubuh mereka tak terlihat dari posisi Tante Sri sekarang.

"Gue boleh kurang ajar nggak, sih? Gue cuma mau makanannya aja, nggak mau orangnya." Jean meringis. Meringis karena menyadari kurang ajarnya juga meringis karena Tante Sri yang tak habis-habis mengobrol dengan Bunda.

Hema yang sedang cosplay menjadi cecak karena posisinya yang menempel pada dinding dengan sekuat tenaga menahan tawanya, "Sumpah! Gue juga gitu. Gue cuma mengharapkan makanannya doang."

Rendra yang ada di ujung dinding berulang kali melirik ke arah Bunda dan Tante Sri. Misalkan Bunda melihat wajahnya, dia bisa memberi kode pada Bunda untuk segera menyuruh Tante Sri pulang.

"Masalahnya tuh, kalau kita turun sekarang, dia pasti ngoceh panjang lebar. Mana gue nggak tahan wangi parfumnya lagi. Betah banget Bunda dengarin dia ngoceh." Naja mendengus kesal. Dia ikut mengintip bersama kepala Rendra di bawah kepalanya. Tante Sri malah semakin seru bercerita tentang dirinya yang membuat bakso goreng khusus untuk empat bersaudara ini.

Rendra berdecak. Matanya melirik jam tangannya. "Hari ini kita skip sarapan gimana?"

Adik-adiknya mengangguk setuju, "Tapi turunnya gimana?" tanya Naja.

"Sebentar." Rendra mengeluarkan ponsel pintar dari saku celana abu-abunya. Jarinya mencari kontak Bunda lalu mengirimkan wanita itu pesan.

Me:
Bunda |
Bun |
Kita di atas |

Bundahara 💚
| Kenapa nggak turun mas?

Rendra kembali melirik ke bawah, matanya dan mata Bunda akhirnya bertemu. Rendra menunjuk Tante Sri dengan bibirnya yang dimajukan. Bunda tersenyum mengerti. Setelahnya, suara pesan masuk terdengar.

Bundahara 💚
| Kalian turun pelan-pelan
| Ini bunda coba ajak ngobrol

Me:
Oke sip |

Rendra langsung memberi kode OK pada Bunda. Syukurnya Bunda mengerti. Bagaimana kalau tadi Bunda langsung memanggil mereka? Ah! Sudahlah.

Renda melirik adik-adiknya. "Turun pelan-pelan. Jangan buat suara apapun!" Perintahnya yang kemudian diangguki oleh tiga remaja di belakangnya.

Empat tuyul tampan ini sudah benar-benar seperti tuyul sekarang. Berjalan mengendap-endap melewati ruang keluarga dan ruang tamu yang sialnya terasa begitu luas. Rasanya seperti menyebrangi jembatan lapuk yang di bawahnya mengalir sungai deras. Salah satu langkah saja, habis mereka.

Dengan begitu pelan tangan Renda mencoba membuka pintu rumah. Biasanya, pintu putih rumah Abimana ini jika dibuka akan mengeluarkan suara akibat bagian bawah pintu yang bergesekan dengan lantai.

"Cosplay jadi maling sedep juga ya." Jean mengelus dadanya. "Berasa jantung lagi senam aerobik."

Semuanya tenang-tenang saja. Sampai akhirnya Hema berteriak panik, "MAMPUS!"

"Apaan?!" Tiga lainnya kompak terkejut.

"Topi sama dasi gue masih di atas!" Hema mengacak rambutnya kesal. Padahal tadi dia sudah rela kakinya kesemutan karena berjalan mengendap-endap.

BIANGLALA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang