29. Ribut di Kepala

1.2K 172 15
                                    

🎡 BIANGLALA 🎡
| 29. Ribut di Kepala |
.
.
.
.
.

Naja tahu, tak selamanya keadaan yang baik akan selalu baik ke depannya. Dia juga tahu apa-apa yang dia miliki tak akan selalu bertahan setiap waktu. Contohnya ayah, lelaki terhebat yang pernah Naja kenal dan miliki itu nyatanya sudah lepas dari genggamanya.

Sejujurnya dia takut, takut hal yang masih dia miliki akan perlahan-lahan pergi juga. Naja paham kehilangan tak pernah bisa dirubah. Tapi dia juga sadar bahwa dirinya bisa mencegah hal tersebut. Tapi pada kenyataannya dirinya belum mendapatkan cara efektif untuk tetap mempertahankan orang-orang tersayangnya.

Malam ini dia tidur sendiri di kamarnya, tidak ada cerita malam bersama saudaranya. Naja memutuskan untuk tidur lebih cepat. Namun bukannya tidur, anak itu malah terisak di balik guling.

Dia tidak bisa melarang kakak-kakaknya untuk dekat kembali dengan keluarga kandung mereka. Namun dia lebih tidak bisa jika membiarkan tiga kakaknya kembali pada keluarga aslinya.

Pikirannya melayang pada beberapa tahun silam, saat dirinya pertama kali bertemu Rendra. Yang dia lihat, Rendra adalah anak yang penuh tanggung jawab di umurnya yang masih sangat kecil. Rendra adalah anak dengan kata-kata bijak yang selalu dia keluarkan. Hingga pada akhirnya Naja memilih Rendra untuk menjadi tempatnya mengadu jika suasana hatinya sedang tidak menentu.

Naja hanya tidak ingin kehilangan lagi, dia takut.

"Dek?" Itu bukan suara Rendra. Padahal dia berharap Rendra akan masuk ke kamarnya, membujuknya dengan sogokan seperti indomi gratis di malam hari.

"Dek?" Suara itu memanggilnya lagi. Lantas dia berbalik badan, dengan terpaksa menjauhkan mukanya dari guling. Lalu menatap sinis pada manusia di depan pintu.

"Nggak usah panggil adek adek, deh. Geli!"

Jean terkikik. Dia kemudian berjalan masuk, duduk di kursi belajar milik Naja sembari tangannya memegang asal barang-barang di atas meja itu.

"Kenapa, sih? Belakangan mood-nya kayak cewe."

Jean mengatakan dengan santai, namun tanggapan dari Naja sama sekali tidak santai. Anak itu mendengus kesal. Kembali berbaring memunggungi Jean.

Ada rasa yang susah dijelaskan dalam diri Naja. Rasa sesak yang berbeda dari sebelumnya. Sederhananya dia takut, entah pada apa. Pada hal yang belum tentu terjadi atau pada hal yang sudah dia prediksi akan terjadi.

Dia menatap kakaknya yang sedang bermain dengan tempat alat tulis yang ada di meja belajar. Jean terlihat baik-baik saja. Tidak ada ketakutan seperti dirinya. Itulah mengapa dia memilih untuk masuk kamar lebih cepat hari ini karena pikirnya, perasaannya tidak benar.

"Kok nggak dijawab?" Jean beralih perhatian.

Sedangkan Naja di hadapannya hanya menggeleng. Enggan menjawab apa-apa.

"Semuanya bakal tetap di sini, kok. Nggak akan kemana-mana."

Seakan tahu seluruh isi celuk-beluk kepala Naja, Jean tersenyum sombong. Mendengar cerita Rendra sesaat setelah pulang menjemput Naja, Jean tahu apa yang sedang adiknya pikirkan.

Sejujurnya dirinya pun takut. Keluarga ini akan bertahan atau tidak, dirinya tidak tahu. Ayah tidak lagi bisa dilihat. Rumah ini tetap hangat walau rasanya berbeda. Masih ada bunda Sang pematik kehangatan.

"Gue juga nggak bisa ngelarang siapa-siapa buat deket balik ke keluarganya, termasuk diri gue sendiri. Tapi menurut gue, nggak ada rumah yang lebih baik daripada rumah ini. Pasti yang lain juga berpikiran seperti itu. Lo nggak usah takut kita bakal pergi atau menjauh. Gue pastiin itu nggak akan terjadi."

BIANGLALA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang