34. Rumah, Asing, dan Sunyi

849 110 4
                                    

🎡 BIANGLALA 🎡
| 34. Rumah, Asing, dan Sunyi|
.
.
.
.
.


Untuk kesekian kalinya, napasnya sesak. Dadanya dihantam beribu pilu hingga rasanya dia ingin berteriak menyerah. Sungguh, bisakah dirinya ikut mati? Sepertinya tempat di mana adiknya tertidur abadi saat ini jauh lebih nyaman dari tanah yang diinjaknya. Sepertinya ruang sempit dibawah undukan tanah di depannya itu jauh lebih baik daripada bumi terbuka tempatnya saat ini.

Hema meremas tangan Jean yang menopang nya berdiri. Tidak sengaja, sebab sesaknya datang tanpa permisi. Mereka berada di depan makam Najaka —yang masih basah dengan bunga yang belum mengering. Mungkin karena Rendra tidak pernah absen datang ke sana.

"Kalau nggak kuat kita balik sekarang. Nanti bisa ke sini lagi." Hema menggeleng untuk merespon perkataan Rendra. Walau tangannya bergetar bertopang pada tangan Jean, dia tetap berdiri si sana —di depan rumah baru sang adik.

Dengan perlahan Hema menurunkan badannya, terduduk di sebelah undakan tanah penuh bunga itu. Jean dan Rendra masih setia di sana, terus mengusap punggung Hema.

Sementara Hema menatap nisan Najaka seperti benar-benar menatap wajah adiknya. Membaca segala yang ada di batu nisan dengan lamat, seperti meyakinkan diri bahwa yang ada di dalam sana benar-benar adiknya.

Kembali pada saat kejadian, saat masih belum ada bala bantuan yang menolong, Hema memang sudah tidak mendengar suara apapun dari Najaka. Hema pikir memang saat itu indra pendengarannya tidak berfungsi dengan baik. Namun hingga dirinya dalam kondisi setengah sadar di ruang gawat darurat, di tengah hiruk pikuk manusia sibuk yang hanya bisa Hema lihat dari ekor matanya dan berisik suara langkah kaki yang dia dengar, tidak ada sekali pun suara Najaka sampai di telinganya. Pun dirinya tidak bisa lagi bergerak walau hanya bertanya dimana keberadaan adiknya.

Hingga saat di ujung kesadarannya yang kian menipis, suara seorang lelaki samar-samar menyapa telinganya. Beberapa kata yang membuat dadanya sesak bukan main, beberapa kata yang membuat setetes air mata mengalir keluar, beberapa kata yang membuat kesadarannya menghilang detik itu juga.

Waktu kematian 14.45 —persis seperti saat kematian Ayah, walau dalam posisi tidak sadar, hati Hema tetap sakit. Hancur hingga rasanya dia tidak ingin sadar kembali.

Hema bertemu dengan Najaka beberapa kali —di alam bawah sadar. Anak itu tidak berkata apa-apa, pun Hema seperti orang lumpuh. Tidak bisa bergerak, hanya berdiri menatap Najaka yang tersenyum dengan latar cahaya putih. Kemudian menghilang tanpa tanda-tanda. Mimpi tersebut terus berulang beberapa kali hingga Hema memilih untuk meraih kesadaran. Kenyataan bahwa kesadaran begitu lama dia dapatkan bukan karena tubuhnya yang lemah, namun memang dirinya belum bisa menerima kenyataan bahwa adiknya telah tiada. Lantas setelah dia paham dan berusaha ikhlas dengan kenyataan, kesadaran kembali dia dapatkan.

"Maaf, abang yang salah." Siapapun mengerti. Tidak terkecuali bumi yang mendung saat itu. Mengerti ke mana maksud permintaan maaf Hema. Mengerti mengapa anak itu mengucapkan maaf terlebih dahulu alih-alih bertanya mengapa pergi dengan cepat.

"Harusnya kamu nggak usah ikut. Harusnya kamu tolak ajakan abang. Harusnya kamu bilang kalau kamu nggak bisa ikut. Harusnya —harusnya bukan kamu yang pergi. Maaf, abang yang salah. Harusnya abang nggak ajak kamu."

Hema tidak menangis kali ini. Mungkin sudah bingung ingin mengeluarkan air mata dari sebelah mana sebab menangis sudah menjadi kegiatan rutin. Atau mungkin menurut Hema saat ini bukan lagi saat untuk menangis, mungkin menurutnya saat ini adalah saat untuk menyalahkan diri. Atas segalanya.

Gemuruh langit terdengar, kemudian langit berlahan-lahan mulai menghitam. Hema tahu langit ikut marah, sebab di sini berdiri seorang pembunuh —begitu pikirnya.

BIANGLALA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang