🎡 BIANGLALA 🎡
| 26. Upaya Meredam Sakit |
.
.
.
.
.Bisa Jean tebak, ini sudah pukul tiga sore dan dia masih berdiri di sini, di pinggir jembatan menghadap sungai deras dengan tangan bertumpu pada palang besi. Pertemuan dengan mama hari ini adalah cerita paling buruk.
Jean sadar poselnya berkali-kali bergetar dalam saku celananya. Namun tak ada niat baginya untuk menjawab, bahkan sekadar melihat siapa yang menghubunginya.
Menangis tak lagi bisa mengurangi sakit. Diingatnya kembali ucapan saudara-saudaranya. Bahwa yang meninggalkan sudah pasti jahat. Bahwa yang tak menepati janji sudah pasti buruk. Namun jauh di bagian hati terdalam milik Jean, dia masih berharap. Berharap bahwa mama yang dia dambakan kehadirannya itu tidak benar-benar jahat.
Lagi-lagi dia terisak, padahal sudah mati-matian dia tahan. Seharusnya ayah ada di sini, pikirnya. Seharusnya sekarang dirinya sudah menangis dalam pelukan ayah.
"AAARGGHHH!!" Suaranya nyaring, begitu menyakitkan. Tulang-tulang jarinya sudah sedari tadi memar sebab berkali-kali dia hantamkan pada pagar keras.
Dia kecewa, entah pada siapa. Kecewa pada mama atau bahkan dirinya sendiri.
Ponselnya berdering kembali. Kali ini dia lihat siapa yang melakukan panggilan.
"Papa," gumamnya saat membaca nama yang tertera di ponselnya. Dibiarkannya panggilan itu hingga berakhir. Lalu tertera 17 panggilan dari Brata dan 9 panggilan dari Mas Ren.
🎡🎡
Niyara sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa. Di hadapannya sekarang terduduk Jean dengan tatapan kosong entah mengarah kemana.
"Kamu mau minum apa? Teh? Susu? Atau air putih?" Ini sudah pertanyaan keempat tapi tetap dijawab dengan gelengan lemah.
Niyara pasrah. Dia kemudian duduk berhadapan dengan Jean, memaksa pandangan cowok itu untuk fokus pada dirinya.
"Cerita, Yan. Kalau kamu gini terus, aku malah bingung. Kamu kenapa? Ini tangannya kenapa bisa luka?"
Tatapan Jean tidak bisa bohong. Kini, sepenuhnya atensi Jean dipenuhi oleh Niyara. Terbentuk bayangan cewek itu di mata legam miliknya.
"Aku salah, Ra." Setetes air mata turun kembali. "Aku salah berharap mama datang tepati janji."
Dahi Niyara mengerut, "Kamu ketemu mama?"
Kali ini air mata Jean semakin mengalir deras, "Mama bilang seharusnya kami nggak pernah ketemu lagi. Seharusnya saat itu, saat dimana mama tinggalin aku, seharusnya itu adalah perpisahan kami."
"Aku bodoh, Ra, bodoh!" Dirinya menjambak rambutnya. Memaki diri sendiri dalam hati.
Satu tangan Niyara mengambil tangan Jean, menjauhkannya dari jambakan yang berkali-kali lipat terlihat menyakitkan. Dia elus perlahan jemari yang terlihat memar itu.
"Kamu sudah lihat mama? Semakin cantik? Beliau awet muda? Hidupnya bahagia atau tidak?"
Niyara tidak berniat menghibur, hanya sebatas menggiring pikiran Jean pada pandangan yang berbeda. Tentang betapa beruntungnya lelaki itu bisa melihat orang tuanya kembali setelah sepuluh tahun berlalu.
Jean masih terdiam. Namun tatapannya sepenuhnya fokus pada Niyara. Dengan mata sembab yang memerah, tatapannya pada Niyara tak pernah berubah, lembut.
"Mama semakin cantik, ya, sekarang?" Anggukan pelan menjawab pertanyaan singkat tersebut. Lantas Niyara tersenyum, begitu menenangkan hingga perlahan isakan Jean mereda.
KAMU SEDANG MEMBACA
BIANGLALA ✔
Dla nastolatków#Brothership #NCTDream #00line ❗HARAP FOLLOW SEBELUM MEMBACA "Bianglala membawa kita berempat berputar. Memberi kita kesempatan melihat setiap sisi dunia. Memperlihatkan bahwa semesta selalu punya rahasia." Najaka tahu tak selamanya mereka berempat...