🎡 BIANGLALA 🎡
| 3. Ketakutan |
.
.
.
.
.Walau dengan kepala keliyengan karena dihantam kepalan tangan Leon, Hema tetap sampai di rumah dengan keadaan sehat walafiat ditemani vespa kuning kesayangan. Setidaknya dia puas karena sudah menonjok muka tak seberapa Leon sebagai permulaan tadi. Walaupun berakhir dengan mendapat poin kesalahan lebih banyak dari Leon, Hema tak masalah.
Karena Hema pernah dengar Ayah mengatakan begini pada Kak Jean, "Kamu kalau mau berantem sama orang, jangan mukul duluan. Bagaimana pun masalahnya, yang mukul duluan, dia yang salah. Nggak ada toleransi! Biarin dia mukul kamu duluan. Terus juga, kalau dari awal udah sok hebat dengan saling pukul, ketahuan guru ya jangan nangis. Ayah dulu juga begitu, setiap minggu ada aja yang Ayah ajak berantem. Tapi Ayah nggak pernah nangis waktu masuk BK. Soalnya Ayah sadar kalau itu kesalahan Ayah." Kak Jean saat itu masih sesenggukan karena habis dimarahi Ayah akibat ketahuan berantam. Saat itu Kak Jean masih satu SMP. Bunda pun ikut nggak habis pikir dengan Kak Jean yang sudah sangat garang di umur segitu.
Dimarahi Pak Subto di ruang BK sama sekali bukan apa-apa. Ujung-ujungnya pasti dikasih poin kesalahan. Itu sudah konsekuensi. Tapi kalau dimarahi Ayah Abim, itu baru yang namanya senam jantung. Yang dipikiran Hema saat ini hanya itu. Yang direncanakannya saat Ayah marah nanti ya hanya diam.
"Hema? Sini!"
Hema menoleh ke arah meja makan. Sudah ada Mas Ren dan Naja yang sedang makan siang. Dengan lemas Hema berjalan menuju meja makan.
"Duduk di sini. Gue bersihin dulu luka lo." Mas Ren menarik kursi di sebelahnya.
Hema duduk di sana. Tepat di seberang Naja yang sedang makan sayur lodeh dengan lahap. Kalau tidak ada Naja yang meneriakkan namanya tadi, mungkin Hema akan lebih babak belur dari sekarang.
"Makasih, ya, Dek."
Dengan sayur yang menggantung di mulut, Naja mendongak. Sedikit terkejut akan ucapan Hema yang kelewat sopan melewati telinganya. Bahkan Mas Ren yang sedang menuang metanol di kapas pun ikut tertawa.
"Otak lo nggak geser karena dihantam tangan berotot Leon, 'kan, Hem?" Mas Ren sudah mengontrol napasnya untuk berhenti tertawa. Tapi tetap saja dia tertawa, bahkan botol metanol ikut bergetar di tangannya.
"Kenapa, sih?"
"Lo ada masalah hidup apa sih, Bang? Sampe si Leon dilawan. Perasaan yang berani sama Leon cuma Kak Jean doang." Naja meneguk air putihnya, hanya untuk meminimalisir tenggorokan yang gatal karena menertawakan Hema.
"Jadi lo takut sama Leon?" tanya Hema dengan muka tengilnya.
"Bukan takut. Lebih tepatnya malas. Nggak guna juga, 'kan? Nggak dapat pahala juga."
"Sshh." Hema meringis sedikit saat Rendra menekan luka di pelipisnya sengaja. "Kalau dia ngancem?"
"Ngancem apa?" pergerakkan tangan Rendra berhenti. Matanya menatap Hema serius.
Hema menggaruk tengkuknya. Ditatap serius oleh Rendra bukanlah hal bagus. Itu artinya Rendra sedang dalam mode tidak bisa diajak bercanda. Bukan waktu yang pas untuk membuat alasan. Rendra bisa tahu dia berbohong atau tidak.
"Emm ..." Hema bangkit dari duduknya, berjalan menuju ricecooker untuk mengambil nasi. "Mau jahatin Naja. Tapi kayaknya nggak berani. Santai aja."
"Mau jahatin gimana?"
Hampir saja centong beserta piring lolos dari tangan Hema karena Rendra tiba-tiba berdiri di sampingnya.
"Ngagetin aja anda."
![](https://img.wattpad.com/cover/254733288-288-k143993.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
BIANGLALA ✔
Novela Juvenil#Brothership #NCTDream #00line ❗HARAP FOLLOW SEBELUM MEMBACA "Bianglala membawa kita berempat berputar. Memberi kita kesempatan melihat setiap sisi dunia. Memperlihatkan bahwa semesta selalu punya rahasia." Najaka tahu tak selamanya mereka berempat...