11. Bertemu Mama

1.6K 262 33
                                    

🎡 BIANGLALA 🎡
| 11. Bertemu Mama |
.
.
.
.
.

Setelah berdebat panjang dengan Anggun --seksi dekorasi ulang tahun sekolah tentang konsep panggung acara nanti, Rendra masih belum bisa mengistirahatkan otaknya. Pesan singkat dari seseorang yang menyebut dirinya Mama menjadi beban tambahan di pikiran Rendra malam ini. Belum lagi tugas fisika yang nggak manusiawi. Rasanya Rendra ingin vakum dari kehidupan saja.

Nomor tidak dikenal:
|Masih ingat nomor ini?
|Besok temui Mama di Garden Cafe pulang sekolah.

Rendra tidak berniat membalas. Dia juga belum tahu akan datang atau tidak. Lagi pula untuk apa datang? Rendra kan sudah menganggapnya mati.

Untuk sejenak, walaupun pikirannya mengatakan bahwa ia tidak mau datang, tapi hati Rendra sempat mencari alasan jika dia nanti datang. Salah satu alasannya adalah, kenapa Mama meninggalkan dirinya di panti saat itu. Atau hanya sekedar tahu bagaimana muka wanita yang melahirkannya itu.

"Mas?" Pintu kamarnya terbuka tanpa diketuk dahulu. "Still melek ternyata." Manusia yang membuka pintu kamar seenaknya itu masuk dan berbaring di kasur Rendra dengan seenaknya juga.

"Ngapain?"

"Ya Allah, jutek amat sama adek sendiri."

Rendra menggeleng tidak peduli. Dia melanjutkan mengerjakan soal fisika yang sepertinya bisa menghancurkan otak Hema jika anak itu yang mengerjakan.

"Kita bakal terus-terusan pakai aku-kamu gini?"

Rendra berhenti menulis, "Iyalah, udah diperintah sama Ayah. Mana bisa bantah kita. Lagi pula Ayah itu bener, Hem. Kita aja yang kadang badung banget."

"Agak cringe aja gitu. Sedikit menggelitik." Badan Hema bergetar merinding saat mengatakannya.

"Sama kok kayak dulu, waktu pertama kali kita ketemu. Kamu mulai panggil aku Mas, panggil Jean Kakak, panggil Naja Adek. Kita juga masih gagu-gagu, soalnya kita nggak sedarah. Susah banget dulu ngelatih pemikiran kalau kita ini saudara. Tapi Ayah bilang, saudara itu nggak harus sedarah. Asal kita sayang satu sama lain, akan ada tali transparan yang mengikat kita. Makin lama, kalau kita makin sayang satu sama lain, tali itu akan ikat kita lebih erat." Rendra mengatakannya sambil menulis. Ini sudah pukul 9 malam, jika tidak sambil menulis, bisa-bisa siapnya pagi.

"Sebelum orang tua aku meninggal, mereka termasuk dekat sama Ayah Bunda. Yang aku dengar, mereka satu univ waktu kuliah. Kalau aku sih udah kenal sedikit sama Ayah Bunda, sesekali dibawa Papa Mama ku bertamu ke sini. Nggak nyangka juga waktu Papa Mama meninggal, Ayah Bunda datang terus bilang aku akan jadi anak mereka. Baik banget nggak, sih?"

Hema masih ingat, malam kelam yang sekaligus menjadi malam paling bahagia untuknya. Hema tidak pungkiri bahwa kepergian Mama dan Papa adalah sebuah bencana besar dalam kehidupannya. Tetapi saat Ayah dan Bunda datang dan mengatakan dengan tulus, "Kami akan menjadi orang tuamu." Saat itu Hema rasa dunianya kembali.

"Waktu Ayah Bunda datang ke panti untuk adopsi Mas, Mas kira bukan Mas yang mau diadopsi. Soalnya banyak anak-anak yang lain. Eh tiba-tiba Ibu panti manggil Mas. Katanya Mas udah punya orang tua baru. Habis itu tiba-tiba Naja datang dari pintu belakang panti, narik tangan Jean terus bilang gini, aku mau dia juga jadi saudaraku. Di situ Jean mukanya kek orang dongo. Soalnya dia baru banget di panti, dua bulanan kayaknya." Rendra tertawa sedikit saat memperagakan cara bicara Naja yang saat itu kelewat gemas.

Rendra terlahir untuk dewasa. Sejak dirinya tidak tahu apa-apa, dia sudah dipaksa dewasa dengan tumbuh di panti tanpa mengenal orang tua kandung. Dia bukan satu-satunya anak yang punya hidup malang di panti, masih ada puluhan anak lain yang hidupnya lebih buruk. Jadi Rendra tidak bisa mengeluh barang sejenak.

BIANGLALA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang