23. Ketika Matahari Seredup Hati

1.5K 229 80
                                    

🎡 BIANGLALA 🎡
| 23. Ketika Matahari Seredup Hati|
.
.
.
.
.

Rasanya Najaka sedang berada di alam mimpi beberapa menit yang lalu. Rasanya tidur singkatnya di dalam kelas saat pelajaran Agama terasa begitu damai. Tapi saat Baim —ketua kelas sekaligus teman sebangkunya— menepuk punggungnya dengan brutal, mau tidak mau dia mengangkat kepala dengan malas. Hingga dilihatnya ketiga kakaknya berjalan dengan buru-buru menuju kelasnya.

"Kenapa abang-abang lo?" Dan Najaka hanya menjawab dengan bahu yang terangkat untuk pertanyaan Baim.

Tiba-tiba saja hatinya bergemuruh. Serentak dengan suara dari langit yang menghentak bumi. Melihat bagaimana seriusnya wajah Rendra yang dengan sopan permisi pada guru agama juga bagaimana Jeano langsung memasukkan buku-buku Najaka ke dalam tas, napasnya seakan terhenti. Jangan lupakan Hema yang wajahnya pucat pasi.

"Ayah masuk rumah sakit, Mas udah izin ke guru piket," kata Rendra kala itu yang sukses membuat Najaka mengangguk tanpa bisa berkata-kata.

Jika boleh jujur, kakinya terasa tak bertapak lagi. Jika saja Hema tidak menggenggam tangannya, Najaka rasa dia akan runtuh saat itu juga.

Dan begitu wajah kacau Bunda bertemu dengan tatapannya, Najaka langsung berlari. Di lorong rumah sakit menuju ruang ICU kala itu, rasanya lebih dingin daripada malam-malam badai yang lalu. Wajah kemerahan yang ditampilkan Bunda membuat anak itu dengan cepat memeluk.

"Ayah kenapa, Bun?"

Di celuk leher Najaka, Bunda menyembunyikan wajahnya. Saat itu juga dia menyadari anak yang 17 tahun lalu dia lahirkan sudah begitu besar, sampai-sampai rasanya bisa dia jadikan tempat berlindung. Beberapa jam yang lalu, panggilan telepon dari tempat suaminya bekerja mengabarkan jika Abimana dilarikan ke rumah sakit, serangan jantung katanya.

Di belakang mereka, Jeano bersandar pada dinding putih rumah sakit yang terasa lebih kelam dari warna hitam pekat sekalipun. Tangannya bertumpu pada lutut sambil bergetar. Sekuat tenaga agar tidak menangis.

Di depan pintu ruang ICU yang terasa begitu dingin, Hema berusaha mencari celah agar dia bisa melihat ke dalam. Mencari tahu separah apa keadaan ayahnya itu.

"Hem, duduk dulu." Rendra berusaha tenang dengan duduk di bangku besi yang ada di sana. Menggiring adik-adiknya untuk tetap berpikir positif.

Tidak ada yang berbicara setelah itu. Kata Bunda, sebelum mereka sampai di sini, keadaan Abimana menurun. Di dalam sana, tenaga medis berusaha mempertahankan hidup lelaki itu.

"Katanya, yang ada di ICU cuma punya dua pilihan." Saat itu Hema sudah duduk di sebelah Rendra. Menyandarkan kepalanya pada dinding rumah sakit yang menjadi tempat bertumpu jiwa-jiwa yang takut kehilangan. "Menyerah dan keluar dengan cepat atau bertahan dan mendekam dengan lama."

Rendra menoleh. Dari sorot mata Hema yang dia tangkap, anak itu seperti sedang mengilas balik kejadian masa lalu yang menimpanya. Lantas dengan sekuat hati dia usap pundak anak itu. Mengeluarkan kata-kata penenang walau pada kenyataannya jiwanya juga sedang aburadul.

Tadi saat dia dengan sibuk mengurus berkas-berkas calon pengurus osis yang baru, wali kelas menyampaikan bahwa bunda memberi kabar buruk. Langsung dia berlari menuju guru piket dan menjemput adiknya satu persatu.

"Omongan lo dijaga, ya!" Tiba-tiba saja Jean mendekat. Berdiri di hadapan Hema dengan napas memburu. "Di saat-saat begini seharusnya lo bisa jaga omongan lo!"

Tidak mau kalah, Hema kemudian berdiri. Mendekat pada Jean hingga anak itu mundur beberapa langkah. "Gue ngerasain lebih dulu gimana rasa takutnya. Waktu itu gue cuma duduk sendiri tanpa satu pun orang yang gue kenal." Kata-kata anak itu tersendat. Napasnya tidak beraturan. "Setiap menit ada aja yang nyawanya nggak tertolong. Dan sampai giliran orang tua gue. Gue, gue nggak sanggup."

BIANGLALA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang