Part 10 - Alarm

7.4K 654 20
                                    

“Ini tidak adil bagiku.” Aleena mengeluh frustasi. “Hanya karena aku muda, seorang Bunker’s, bukan berarti mereka harus menginjak-injak martabatku seperti itu.”

“Kau tidak seperti itu,” elak Yura menatapnya cemas. “Kau berbeda dari wanita lain, kau berani, kuat, mengagumkan, dan bijak,” sambung Yura kembali di tengah heningnya malam. Mereka masih bersembunyi di belakang sebuah ruangan kosong. Hanya diterangi oleh cahaya api yang berasal dari minyak yang memisahkan jarak.

“Apa mereka merekrutmu untuk menjadi Tent?” tanya Aleena.

“Selalu.” kata Yura.

“Dan kau menerimanya?” Aleena menatap sendu api kecil di samping kanannya.

“Belum,” singkat Yura, jari-jarinya mencabut rerumputan di sekitar kaki.

“Apa kau takut?” gubris Aleena yang kini amarahnya mulai surut.

“Tidak.”

“Lalu mengapa kau tak berubah haluan menjadi seorang Tent?” Kini Aleena semakin penasaran, desiran dedaunan pohon menjadi teman mereka berdua di belakang ruangan berdinding besi itu. Bisikan angin yang mendirikan bulu roma mereka semakin terasa di kala perbincangan hangat.

Yura mengunci tatapannya ke rumput. “Aku belum siap untuk menjadi seorang pembunuh. Aku bukan tipe pria kuat seperti para Tent kebanyakan, tugasku lebih cocok mencabut tumbuhan ketimbang mencabut nyawa. Aku adalan pelajar, mencoba mencari cara bagaimana menjaga sesuatu dan aku harus mulai dari menjaga seseorang.”

"Grup yang paling diutamakan adalah Tent, mereka mencoba merekrut pria lain dari group manapun untuk dapat bergabung baik itu Ridcloss ataupun Upper. Dari ratusan Tent mereka masih membutuhkan lebih banyak pasokan untuk mejaga seisi benteng yang sangat luas dari bagian Nest dan Base." Jelas Yura.

"Aku mendengar dari temanku yang ada di Nest jika Savagery kini hanya berjumlah sekitar 12 orang setelah 1 dari yang terbaik mati, mereka bahkan yang terbaik dari pada Tent,” sambungnya kembali.

“Kau tidak percaya bukan dengan apa yang Dan katakan, bila Savagery itu mati karena aku?” kening Aleena mengerut gelisah, bibirnya semakin tipis ketika ia merengut sedih.

Yura menggeleng. “Kematian telah diatur sejak kau di dalam kandungan, hanya menunggu waktu dan tempat yang tepat di mana kau akan mati. Itulah kematian, bukan salahmu,” tutur Yura.

“Yura, kau ingat dengan kalimat pria yang saat itu mencengkramku? ‘Membiarkan ku mati?’" Aleena menggelengkan kepala tak mengerti. Tangannya berubah menjadi dingin semakin lama ia di luar, ia bahkan sudah tak dapat merasakan kakinya di dalam sepatu.

“Laki-laki selalu mengatakan hal yang sangat kasar tanpa memandang bulu jika mereka sedang marah Aleena, lupakanlah hal itu.” ujar Yura.

“Apa mereka menginginkanku mati? Aku tak mengerti, apa yang salah denganku? Ada apa denganku?” dengus kesal Aleena mengingatnya, lalu tangannya perlahan memanjat ke kepalanya merasakan sakit lagi. Ia sudah mulai berasa gelisah dengan dirinya sendiri, terutama sakit kepala yang sering menyerangnya. Yang ia pikirkan mengenai 'ada apa denganku?' Mungkin lebih condong ke kondisi kesehatannya.

“Kau berbeda, kepenasaranmu menyeret ragamu ke tempat yang tak cocok untukmu. Kecemasan menerbangkan fikiranmu ke masa-masa kelam dan bertemu dengan kegelapan yang menakutkan perasaan.” Yura menatap langit yang mendung, jika saja ada Tent yang mengetahui mereka berada di luar malam hari mungkin tak ada ampun bagi mereka, hanya saja Aleena memaksa untuk tidak pulang.

The FortlessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang