Aleena masih mengatur pernafasannya, tubuhnya terasa seperti digerogoti ribuan semut merah yang membuat sekujur tubuh merasakan panas dan melemahkan beberapa organ.
Teman-temannya sudah datang bergerombolan masih menatap penuh kecemasan tiada tara, Aleena baik-baik saja adalah harapan mereka saat itu. Melihat kerusakan di semua Grassandor karena senjata Vurwapens begitu hebat, ragu mereka memberi tafsiran bila Aleena tak apa-apa.
"Al, kau tak apa? Kau bisa menggerakkan anggota tubuhmu?" Cadance memulai pertama, sembari ia berjongkok di samping Aleena yang terbaring diam.
Aleena masih memejamkan mata, ia tahu semua orang berada di sekelilingnya melihatinya tengah tidur dengan kelopak mata yang masih menutup rapat. Ia tak ingin melihat semua orang di depannya, tak pula ia ingin semua orang melihat kesakitan di manik mata hijaunya.
Aleena hanya mengangguk sebagai jawaban singkatnya, gerakkan anggun kepala Aleena membuat semua orang di sekelilingnya menghela nafas ketenangan yang tentram. Namun tentu saja tidak dengan Skylar yang masih dalam perjalanan mengejar tubuh Aleena.
"Lihatlah, semuanya hancur," terdengar sambungan suara dari Gustavo yang rendah, nadanya begitu miris sembari iris abu-abunya mulai berkaca melihat semua kerusakan di Grassandor.
Mimpi buruk yang diterima semua orang sudah datang, puluhan bahkan ratusan mayat berceceran darah masih menunggu untuk ditindak lanjuti. Setiap orangnya bahkan hanya melihat penuh kesedihan yang menyirnakan cahaya ketenangan di hati.
Setiap orang yang mati adalah bukti pengorbanan nyata akan tempat tinggal mereka, semua darah yang lolos adalah bukti perjuangan bertahan hidup di dalam, semua jenazah itu adalah bukti sejarah, bila di mana pun mereka berada alam memiliki cara tersendiri untuk merenggut sebuah nyawa.
Menghadapi apa yang akan terjadi bukan sebuah keharusan, itu adalah sebuah takdir. Apa yang menimpa adalah sebuah ujian, yang akan memberikan sebuah hasil dan nilai di akhirnya. Tujuan yang ada hanyalah mencari ke mana selanjutnya pergi.
Ketika cahaya ketenangan baik dari alam mau pun dari harapan sudah tak ada lagi, keputusan di tangan masing-masing. Ke mana ia akan membawa diri mereka, yang otomatis menyeret takdir yang akan menuntun mereka.
"Bagaimana dengan mayat-mayatnya?" tanya Dan pada Gustavo datar, penuh hormat dan patuh. Kini ia sadar pihak mana yang memilihnya, bukan siapa yang ia pilih.
"Perlakukan seperti apa yang di kodratkan," tukas Gustavo pelan.
Menguburkannya, Gustavo ingin menguburkan ratusan mayat di suatu tempat. Salah satu hal yang tersisa adalah kemanusiaan, sebuah titik rasa peduli dan simpati tak seharusnya terlepas dari semua orang kala itu.
"Bila mereka masih hidup, bunuhlah," tambah Gustavo, serempak semua orang menatapnya terkejut.
"Mereka akan merubah menjadi Molk cepat atau lambat, dan membunuh atau bahkan menambah banyak korban. Kau harus mendengarkanku, atau kau mendengarkan wanita di atas sana," jelas Gustavo lagi dingin.
"Aleena!!" suara histeria berat terdengar bersama seorang pria berlari penuh kekhawatiran di manik matanya.
Ia langsung menabraki semua orang yang menghalangi dirinya dari tujuannya, lalu Skylar langsung menghempaskan tubuhnya di samping Cadance dan mengamati raut wajah Aleena yang masih senangnya tidur tanpa ingin membuka matanya.
"Al? astaga apa yang terjadi dengannya?" tanya Skylar ketakutan pada Cadance.
"Aku baik-baik saja Sky, mengapa kau begitu ketakutan seperti itu?" Aleena angkat bicara sebelum Cadance membalasnya. Senyuman kecil terlepas di bibir kanan Aleena sembari guyuran air hujan membasuh wajah mulusnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Fortless
ActionThe Fort, sebuah benteng tua termegah yang pernah ditemukan ini terbuat dari besi tebal mengelilingi, menjadi satu-satunya tempat teraman di kota. Telah ada sejak puluhan abad silam dan kembali menjadi tempat tinggal semua orang untuk berlindung. K...