Part 34 - Serangan Gemirix

5.4K 539 34
                                    

Tubuhnya tak pernah berhenti mengeluarkan gerakan cemas dan gelisah, seraya berbolak-balik menuju arah yang berbeda kali ia di ruangan itu sendiri. Gejolak yang ia pendam tak mampu lagi ia tahan, ingin rasanya ia meloncat dari pinggiran jurang penuh dengan kebingungan dan terjun menuju kesunyian.

Tak kala ia mencemaskan wanita itu, apa yang membuatnya dirundung kecemasan begitu kentara hanyalah memikirkan seorang wanita.

Sebagai seorang pria yang beranjak dewasa dan dikerubungi tanggung jawab, Skylar harus bersikap bijak dan memiliki pilihan yang terbaik.

Pilihan yang dapat membuat kebijakan dan terlihat efek baiknya bagi semuanya, tak hanya bagi satu orang atau satu kelompok, melainkan setiap insan dapat merasakan kenyamanan tinggal di benteng yang ayahnya temui.

Kebuntuan membuat otaknya tersumbat, tidak banyak perkara yang ia fikirkan setelah Aleena mendatanginya, meminta bantuan dan juga menjelaskan hal yang begitu gila bagi Skylar.

Jalan satu-satunya yang ia fikirkan adalah menuju saeorang Upper, pria yang kenal baik dengan dirinya, yang bagi Skylar mungkin saja dapat membantu.

Namun kembali ia teringat perkataan Aleena, janji yang Aleena buat untuk menyembunyikan hal-hal itu dari para Upper.

Bagi Aleena para Upper tidak ada yang dapat dipercaya walau seberapa baiknya dia terlihat, para Upper seperti mengidap kelainan jiwa dan mental, yang membuatnya haus akan kekuasaan dengan sikap otoriternya yang khas.

Kebuntuan kembali, Skylar mencoba menenangkan jalan fikirannya dengan duduk di atas kasur empuk penuh dengan kerutan lecak di seprai berwarna abu-abu gelapnya.

Manik matanya melirik kembali ke arah jendela, dan semakin gelisah ia rasakan ketika awan mendung terlihat.

Masih teringat di telinga Skylar bagaimana gempar dan ricuhnya kejadian The First Contiguity.

Kenangan memori membawanya ke masa lampau, menggambarkan berbagai sketsa kegelapan dan ketakutannya ketika masih menginjak masa kanak-kanak


"Mom, di mana ayah?" tanya Skylar pada sang ibu yang tengah duduk di suatu ranjang yang keras, kasurnya masih tipis dan tak memiliki banyak kapuk yang menghilangkan rasa kerasnya besi.

Lesung pipi timbul di bagian pipi kiri dan kanan ibu Skylar, senyumannya begitu pahit dan palsu ditambah kening yang mengerut membuat mimiknya penuh dengan kedustaan.

"Duduklah," perintah sang ibu penuh kelembutan pada Skylar yang terus mengintip di jendela kaca.

Skylar merespon panggilan sang ibu dan berjalan mendekati sang ibu, ia duduk di samping kanan dan dengan cepat sang ibu membelai rambut rapi yang tersisir.

"Ayahmu sedang bekerja di bawah sana," jelas sang ibu tulus.

"Bisakah aku membantunya?" tanya Skylar penuh kepolosan dan lugu dibalik suaranya yang mungil.

Ibu Skylar terkekeh pelan. "Kau dengar kata ayahmu tadi? Bantulah ayahmu ketika dia membutuhkanmu," jelas Elizabeth, sang ibu.

"Bukankah setiap ayah selalu membutuhkan bantuan dari anak lelakinya mom?" tanya Skylar lagi penuh kepenasaranan.

Pertanyaan Skylar entah mengapa membuat ibunya dipenuhi relung kesedihan, Elizabeth tahu apa yang terjadi di bawah sana.

Ia tahu jika mereka masih menunggu kawan-kawan mereka yang keluar untuk mencari teman mereka yang belum kunjung pulang membawa kabar berita yang dinanti-nanti semua orang.

The FortlessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang