Bunyi mesin-mesin pemopang kesadaran Aleena terus berbunyi dan mendengung menemani jiwa yang terbaring lemah, di suatu kasur empuk dengan seprai putih halus yang dingin. Kain yang benar-benar berbeda dengan milik Aleena ketika tidur di bunker.
Aleena terbaring lemah dengan air infus yang menetes bergantian menuju selang yang menjalar menuju nadi pergelangan tangan kirinya.
Wajahnya yang mulus tentu tak pernah menghilangkan aura kecantikan yang kental.
Rambut brunnettenya benar-benar indah dan tergerai rapi di atas bantal empuk, baju coklat mudanya yang mengidentitaskan jati dirinya sebagai seorang Bunker's terlipat di bagian lengannya.
Nafas pelan yang tadinya tak terdengar dari hidung mancungnya kini semakin lama semakin keras dan panjang, menandakan kesadarannya yang memasuki alam lain yang bukan dari alam bawah sadarnya.
Erangan kecil terdengar dari dalam tenggorokannya seraya ia mencoba dengan sekuat tenaga membuka matanya yang terasa telah terekat oleh lem besi.
Seorang pria yang tadinya tertidur karena terlalu sabar menunggu Aleena di samping ia terbaring membuka matanya pelan, tubuhnya menegak ketika mendengar erangan kecil Aleena di telinganya.
Mata Aleena membuka pelan, pemandangan yang berubah membuat alisnya sejajar dan membentuk suatu kerutan bingung di keningnya.
Satu tarikan nafas panjang mengawali Aleena yang telah membuka matanya lebar, melihat lampu-lampu neon putih yang berjajar di plafon bersih menerangi mereka berdua selama berjam-jam.
Aleena menoleh cepat, melirik pria yang tengah duduk dan meratapi dirinya tengah terbaring lemah setelah efek obat milik Cadance habis.
Wolf meregangkan bahunya, memutar-mutarnya hingga bunyi seperti retakan terdengar yang berasal dari saraf-saraf otot kakunya setelah berperang seharian.
"Hey," sapa Wolf datar dan seperti berbisik, suara bariton besar khasnya keluar.
"Apa yang kau lakukan disini?" tanya Aleena parau di suaranya.
Wolf menegakkan kembali tubuhnya dan mencondongkan badan besarnya pada Aleena. "Menunggumu bangun," balas Wolf dengan seringai kecil.
"Apa yang terjadi dengan ku?" tanya Aleena kembali kini berbisik.
"Mereka bilang kau pingsan seutuhnya ketika efek obat Cadance habis, dan dia menyuruh kami untuk menjagamu secara bergantian selang tiga jam," jelas Wolf.
Bibir Aleena membentuk bulat kecil, ia mencoba untuk menegakkan tubuhnya di atas kasur, dan dengan sigap Wolf membantunya untuk duduk dengan memegang bahu dan pinggangnya dengan santai.
"Terima kasih," singkat Aleena dan Wolf kembali duduk.
"Berapa lama aku pingsan?" sambung Aleena kembali seraya menatap lengan kirinya yang memiliki balutan perban putih dengan selang yang tersambung di suatu infus yang tergantung.
"Mungkin sekitar 10 jam," tukas Wolf mengangkat kedua bahunya berbarengan.
Aleena melebarkan matanya cukup terkejut. "Di mana mereka?" tanya Aleena terus-menerus.
"Mereka maksudmu Cadance dan Will? Mereka tidur," Wolf menengok ke luar di mana kaca besar menembus penglihatan menuju kantor Will yang luas.
Aleena menengok kecil dan melihat Cadance tengah melipat kedua tangannya di atas meja dan menempelkan kepalanya untuk tidur pulas setelah seharian ia bekerja.
Wajah Cadance benar-benar lusuh dan dipenuhi peluh kusam, membuat suatu kerutan yang samar di sekitar bawah kelopak matanya.
"Apa yang terjadi dengan mu?" ujar Wolf penasaran dan mendapat tengokan Aleena cepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Fortless
ActionThe Fort, sebuah benteng tua termegah yang pernah ditemukan ini terbuat dari besi tebal mengelilingi, menjadi satu-satunya tempat teraman di kota. Telah ada sejak puluhan abad silam dan kembali menjadi tempat tinggal semua orang untuk berlindung. K...