BAB 34

43 7 0
                                    


RAPAT besar panitia hari jadi Smapan kali ini di pimpin oleh Elina selaku ketua pelaksana, rapat di adakan di aula karena tempatnya yang luas dan cukup untuk menampung banyak orang, ditambah suasana yang juga tenang dengan semilir angin yang datang dari pohon-pohon sekitar taman membuat suasana rapat menjadi kondusif, dengan catatan, nantinya suara yang di utarakan harus sedikit dikeraskan. Sangat berbeda jika rapat di dalam ruangan, apalagi dengan jumlah siswa yang lumayan banyak, bisa-bisa pengap.

Ara dan Andra juga ikut rapat, tapi hanya sebentar, menunggu sampai semua panitia berkumpul baru mereka akan izin untuk meninggalkan tempat, karena seperti hari-hari sebelumnya, mereka ada bimbingan belajar di perpustakaan.

Ketika semua panitia sudah banyak yang berkumpul.

"Selamat siang teman-teman panitia semua. Diucapkan terimakasih untuk kehadirannya." Elina membuka rapat.

Andra mengangkat tangan, kemudian berdiri. Matanya berkedip kepada Ara seakan memberi kode supaya Ara juga turut berdiri.

"Assalamu'alaikum, saya beserta Ara, memohon maaf tidak bisa mengikuti rapat kali ini, karena ada bimbel untuk persiapan lomba. Apakah di izinkan ?"

"Bagaimana teman-teman ? Kita izinkan ?" Tanya Elena kepada semua audien.

"Iya." Jawab audien serempak.

"Terimakasih."

Setelah di izinkan, Ara dan Andra menjauh dari lingkaran rapat dan berjalan keluar aula. Ara berjalan dengan langkah cepat, ia meninggalkan Andra di belakang.

"Kenapa sih jalannya harus jauh-jauhan begitu ?" Andra mengejar dengan berlari-lari kecil.

"Nggak kenapa-kenapa."

"Kalau bisa berdampingan kenapa mesti mendahului ?"

"Kalau bisa sendiri kenapa mesti berdampingan ?"

"Hidup itu selalu berdampingan Ra, hidup butuh orang lain. Atau emang aku nggak pantes ya jalan berdampingan sama kamu ? Makanya kamu menghindar ?"

Perkataan Andra membuat Ara semakin bingung, sebenarnya ada apa dengan Andra ?

"Apa'an sih Ndra, kamu kok jadi nggak jelas gini. Biasa aja lah, orang biasanya juga begini kan ? Hal seperti ini saja malah jadi bahan perdebatan."

"Ya udah iyaa, emang cowok serba salah ya, selalu ada saja salahnya dimata cewek." Sepertinya pernyataan itu ditujukan untuk dirinya sendiri.

"Nggak usah curhat !." Jawab Ara menimpali.

"Siapa yang curhat ? Orang ngomong ke diri sendiri."

"Orang kedengeran."

Perdebatan Ara dan Andra berakhir ketika mereka tiba di perpustakaan. Mereka sudah ditunggu oleh guru pembimbingnya masing-masing. Mereka mulai belajar dengan serius, memakan waktu hampir satu jam.
Hingga tiba waktunya untuk berkemas pulang.

"Kita cukupkan bimbel hari ini, selamat berjuang untuk besok. Semangat !" Ucap salah satu guru pembimbing.

"Semangat !." Para siswa mengangkat tangan sambil mengepal.

Para guru bergegas pulang terlebih dahulu, sedangkan para siswa masih asyik mengobrol sambil merapikan alat tulis.

"Gue yakin pasti tahun ini gue menang lagi." Andra bermonolog dengan suara yang lumayan keras, sehingga terdengar oleh Ara yang sedang duduk di sampingnya dengan berjarak lumayan jauh.

"Jangan terlalu optimis, entar kalau jatuh sakit, lebih sakit dari jatuh yang berdarah-darah." Gumam Ara turut berkomentar.

"Hidup kan juga perlu optimis Ra. Masa' iya harus pesimis ?" Andra tidak terima

"Siapa yang bilang nggak perlu ? Optimis boleh tapi jangan berlebihan, sesuatu yang berlebihan kan nggak baik, jadi sewajarnya saja."

"Sewajarnya saja ya ? Baiklah."

"Optimisme berarti berpikir positif, yaitu percaya kepada Allah dan diri sendiri. Jadi kalau kamu hanya percaya pada kemampuan kamu sendiri tanpa melibatkan Allah di dalamnya, itu namanya bukan optimis, tapi sifat sombong."

Ara berkata lagi. "Mungkin menjadi pesimis juga kita butuhkan, sebagai bentuk pengakuan bahwa kita manusia lemah, tidak ada apa-apanya jika tanpa pertolongan dari Allah. Sepintar apapun seseorang, hingga tingkat kemenangannya bisa di prediksi sampai 95%, tapi kalau Allah berkehendak lain, tidak meridhoi untuk menang, maka seseorang itu tidak akan menang. Jadi, jangan lupa juga untuk berdo'a, minta restu sama Tuhan." Perkataan Ara lebih panjang dari sebelumnya.

"Cerewet banget sih jadi cewek !" Protes Andra.

"Aku kan cuma ngasih saran. Nggak bermaksud lain-lain."

"Sekarang aku tanya sama kamu. Yang kamu harapkan dari perlombaan ini menang atau kalah ? Berharap menang dong pasti ? Nggak mungkin berharap kalah."
Ara mengangguk.

"Setiap orang pasti ingin meraih keberhasilan atas apa yang telah mereka usahakan dengan semaksimal mungkin. Aku juga begitu. Tapi kalau yang di pikirin tentang keberhasilan terus menerus yang ada nanti malah tertekan. Jadi, ada yang lebih sederhana. Yakni, kalau ada hasilnya ya bersyukur, kalau nggak ada hasilnya ya nanti berjuang lagi."

"Keren banget sih temanku ini, bijak, dewasa." Sambil mengedip-ngedipkan matanya genit, dagunya disangga oleh tangan dengan senyum yang mengembang.

"Apa'an sih ? Sok-sok muji." Sambil bergidik geli.

"Serius !"

"Apa iya omongan seperti itu saja bisa dibilang dewasa ? Aku nggak dewasa Ndra, hanya sudut pandang kita saja yang berbeda."

"Beneran, kamu itu dewasa loh."

"Ndra, dewasa itu nggak bisa hanya dilihat dari tutur bicaranya, tapi sifat, sikap, dan tindakannya juga harus mencerminkan perilaku dewasa, harus bisa selaras dengan apa yang di ucapkan, kalau sudah seperti itu baru bisa dibilang dewasa sungguhan."

"Banyak orang yang bijak dalam berbicara tapi tidak bijak untuk berbuat. Kalau hanya sekedar ngomong semua orang kan bisa, Ndra. Dan aku adalah salah satu dari banyak orang tersebut." Pungkas Ara lagi.

"Aku pernah baca di internet, bahwa ada banyak faktor yang membuat seseorang bisa menjadi dewasa, yakni keadaan, pertemanan, didikan orang tua, pengalaman hidup, latar belakang pendidikan, lingkungan dan orang-orang sekitar, kemampuan diri untuk terus berproses. Benar nggak ?." Tanya Andra serius.

"Benar, terkadang seseorang dipaksa dewasa sebelum waktunya, entah itu dipaksa oleh keadaan dan konflik yang ia jalani selama hidup, entah itu karena berteman dengan orang yang lebih dewasa dari dirinya, entah karena didikan dari orang tua, keluarga dan lingkungan sekitarnya. Tapi dari beberapa faktor yang lebih sering terjadi adalah karena dituntut paksa oleh keadaan, sehingga membuat seseorang tumbuh dewasa lebih cepat."

"Bahkan pintar pun tidak cukup untuk menyelami arti dari sebuah kehidupan yang sesungguhnya. Seseorang yang pintar dalam akademik belum tentu juga pintar dalam menghadapi konflik hidup." Pungkas Ara lagi.

"Kalian nggak pulang nih ?" Tanya siswi yang bernama Desi, perwakilan dari SMA Pancasila dalam OSN bidang astronomi.

"Kamu nglewati lapangan basket kan ?"

"Iya Ra, kenapa ?"

Aku ikut Des. Tadi Airin minta di tungguin, dia lagi ekstra basket." Ara mengambil tasnya kemudian berdiri hendak menghampiri Desi untuk keluar perpustakaan bareng.
Oh, ya udah ayo.

"Duluan ya Ndra." Pamit Ara kepada Andra.

"Iya." Jawab Andra.

_________

To be continued

Jangan lupa voment pliss

Memo Rasa ✔️ (Part Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang