BAB 53

24 5 1
                                    

Di depan teras toko Kara Florist, Ara duduk di kursih panjang, memandang jalan raya sambil termenung. Pikirannya berlayar kemana-mana, kesadarannya beralih sementara waktu, hal itu membuatnya tidak menyadari kedatangan orang lain.
Sedangkan di depan sana ada laki-laki yang mengamatinya dengan seksama.

"Ara manis juga kalau lagi ngelamun seperti itu." Entah bisikan darimana hingga batinnya bisa berucap seperti itu.

Dia memberanikan diri untuk mengatakan dengan keras agar Ara bisa mendengarnya.

"Dipilah pilah, mana yang harus di pikir terlebih dahulu mana yang harus di pikir nanti-nanti." Suara laki-laki dari arah kanan membuat Ara menoleh.

"Andra, sejak kapan dia ada disini ?" Batin Ara bertanya.

"Aku manusia yang suka memikirkan hal papaun secara bersamaan, biar selesainya juga bersamaan."

"Jangan tergesah-gesah, satu-satu." Saran Andra yang sekarang sudah berdiri di samping Ara .

"Aku manusia maruk Ndra, pengen semua persoalan bisa selesai dalam waktu yang bersamaan, padahal tahu, semuanya butuh proses, nggak bisa instan."

"Hhmm, aku jadi ikut mikir kalau begini."

Ara tertawa kecil. "Jangan ikut-ikutan, nanti pikirannya jadi ikutan nggak tenang."

"Mudah-mudahan kamu dikasih kuat, Ra."

"Aamiin, kamu juga Ndra."

"Kalau boleh tahu, emang lagi mikirin apa sih ?" Seorang Andra bisa penasaran ? Tentu, dia juga manusia.

"Tuan Kakek sama Tuan Nenek, semakin hari mereka semakin tua dan Ara belum bisa bikin mereka bangga, bahagia. Sedangkan, Ara sendiri belum tahu kedepannya mau jadi apa, mau ngelakuin apa, aku nggak tahu, bingung, semua masih samar-samar."

"Dengan sendirinya, nanti kamu juga bakalan tahu Ra. Eh bentar, Tuan Kakek, Tuan Nenek, maksudnya ?" Tentu saja Andra tidak mengerti siapa yang Ara sebutkan tadi.

"Ada banyak hal yang tidak harus di ceritakan ke orang lain kan, Ndra ?

Ahh, iya. Aku paham. Andra menerima, ia tidak bisa memaksa Ara untuk menceritakan apa yang ia tidak mau ceritakan ke orang lain, karena semua orang memang berhak punya privasi dalam hidupnya. Dan sebagai seorang teman, sudah seharusnya kita menghargainya.

"Suruh Ara makan Ndra, dari tadi belum makan dia. Nggak tahu, kenapa dia nggak bisa jaga kesehatannya sendiri." Dina yang sedari tadi berdiri di depan pintu kini ikut bersuara.

Andra terkejut mendengar pernyataan Dina, "Beneran Ra ? Kenapa gitu ?"

Rasanya Ara ingin membungkam mulut Dina supaya tidak sembarangan membuka fakta tentang dirinya kepada orang lain.

"Entahlah, hal yang paling nggak aku suka kalau lagi banyak pikiran ya seperti ini, nggak mau makan."

Andra semakin terkejut dengan jawaban Ara. "Sama, aku juga."

"Iya ?" Timpal Ara.

"Duarius." Menunjukkan jari telunjuk dan jari tengahnya membentuk tanda peace.

"Hhmm, gatau ya kenapa gitu ? Yang lain mah mau ada beban mau banyak pikiran, kalau waktunya makan ya makan aja, ngga ngaruh. Tapi, aku kok ngaruh banget." Ara melipatkan kedua tangannya di depan dada, menyenderkan punggungnya ke belakang kursih.

"Sama Ra, aku juga gak mau makan kalau lagi stress dan banyak pikiran gini ini, rasanya nggak lapar. Malah temanku ada yg kalau stress tuh bawaannya makan kalau enggak gitu ya tidur."

"Memang ada banyak pelampiasan yang bisa manusia lakukan kalau sedang banyak pikiran, misalnya, dengan makan, belanja, tidur, jalan-jalan, nonton film, dan masih banyak lagi. Dari banyaknya kegiatan yang bisa kita lakukan, kita lebih memilih untuk nggak makan. Aneh ya kita ?"

Memo Rasa ✔️ (Part Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang