Laki-laki itu tersenyum begitu membuka matanya. Dia masih dalam posisi tidur miringnya, menghadap pada perempuan yang sedang tertidur pulas dengan posisi yang sama menghadapnya. Rahman tidak menyangka bisa melihat pemandangan seperti ini. Zulfa yang tampak kalem dalam tidurnya.
Rahman merubah posisinya menjadi duduk, tetapi tetap menghadap pada Zulfa. Raut mukanya terlihat bimbang. Dia ragu untuk membangunkan istrinya.
"Zulfa," panggil Rahman pada akhirnya sambil menepuk pelan lengan Zulfa.
Tidak ada jawaban. Pergerakan dari perempuan itu saja tidak nampak sama sekali.
"Zulfa," ulang Rahman memanggil istrinya itu. Dia kembali menepuk-nepuk pelan lengan Zulfa, berharap setidaknya ada pergerakan. Hasilnya positif, Zulfa mulai bergerak.
Namun, nyatanya perempuan itu hanya bergerak untuk merubah posisi tidurnya menjadi telentang. Bukannya kesal karena Zulfa sulit dibangunkan, Rahman justru hampir tertawa.
Rahman pun mengusap pelan lengan dengan posisi tubuhnya yang sedikit merendah, mendekat pada Zulfa. "Zulfa," panggil Rahman lagi.
"Hmm?" Zulfa merespon dalam keadaan mata terpejam.
"Bangun," jawab Rahman. Tangannya masih memegang lengan Zulfa.
Perlahan, Zulfa membuka matanya dan menutupnya kembali. Sama seperti orang kebanyakan yang baru bangun tidur. Hingga pada detik berikutnya, matanya langsung membuka sempurna. Lebih tepatnya, dia menatap Rahman dengan ekspresi terkejut.
"Aaaa! Bapak ngapain?!"
Zulfa sudah merubah posisinya, duduk menjauhi Rahman. Lagi-lagi dia berpikiran yang 'iya-iya'.
"M-mas mau ngapain, tadi...?" tanya Zulfa lagi, memperbaiki panggilannya pada Rahman.
"Membangunkan kamu."
"Buat?" sambar Zulfa langsung.
"Mengajak kamu shalat subuh," ucap Rahman diikuti tawa kecil yang langsung ditahannya.
"Mas jangan ketawa dong! Siapa coba yang gak bakal berpikiran Mas mau ngapa-ngapain saya kalau posisinya tadi kayak gitu!"
Zulfa langsung membungkam mulutnya sendiri begitu menyadari kalimat yang diucapkannya barusan. Karena kesal melihat Rahman menahan tawa, mulutnya jadi lepas kendali mengatakan apapun yang dipikirannya.
Keduanya diam. Zulfa merutuki mulutnya yang ceroboh dalam berbicara. Rahman memilih untuk diam menatap perempuan yang terlihat menunduk menyesali ucapannya. Terbesit di pikirannya untuk menggoda Zulfa.
"Zulfa," panggil Rahman pelan dengan suaranya yang lebih berat.
"Hmm?" balas Zulfa. Dia mendongakkan kepalanya, menatap Rahman.
"Kenapa kamu masih meragukan saya? Saya sudah berjanji. Tapi, kamu masih saja berpikiran saya akan menyerang kamu kapan saja. Saya harus bagaimana lagi?" ucap Rahman pura-pura kecewa.
"Bukannya saya gak percaya sama Mas. Saya cuma takut...."
"Kalau begitu, sama saja kamu-"
"Ish, saya takut justru nanti saya yang khilaf. Gimana kalau saya gak mau berhenti? Gimana kalau saya jadi ketagihan? Soalnya temen-temen saya yang udah nikah bilangnya ngerasa gitu. Kata mereka cuma itu rasa sakit yang berujung nikmat. Bahkan, Sekar aja lebih percaya kalau saya yang bisa nyerang..." ucap Zulfa menggantung. Dia sadar telah salah mengeluarkan kalimat demi kalimat dari mulutnya.
Rahman tidak bisa berkata apa-apa. Dia sangat terkejut dengan apa yang barusan keluar dari mulut Zulfa. Kalimat yang sama sekali tidak terpikirkan olehnya akan diucapkan Zulfa.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE PERFECT POLICE
Romance[PROSES REVISI : isi cerita akan sedikit berbeda] Apa jadinya kalau kamu dilamar saat kamu masih bergelar mahasiswa? Lalu, apa jadinya kalau kamu dilamar saat sudah menjadi pacar orang? Padahal belum ada sehari kamu menyandang status berpacaran. Nam...