Kesempatan

5.2K 415 93
                                    

Kesempatan itu gampang dicari. Yang tidak mudah itu memanfaatkannya dengan baik.
(The Perfect Police)

Rasa penasarannya sudah tidak bisa dia tahan. Zulfa pun pamit dari perbincangan orang tua itu dengan alasan yang cukup masuk akal. Ada rapat dadakan di kampus. Orang tuanya maupun orang tua Rahman tentu saja percaya karena Zulfa memang selalu aktif di organisasi.

Sempat orang tuanya akan ikut pulang dan mengantarnya dulu ke kampus. Zulfa langsung menolaknya. Alasannya akan macet di jalan jika naik mobil. Lagi, lagi mereka percaya dengan omongan Zulfa.

Hanya story instagram milik Citra yang menjadi pegangannya sekarang. Dinding dengan tulisan tiga dimensi 'Joglo Studio' dan bernuansa jawa. Siapapun tahu tempat itu. Sebuah studio foto besar dan terkenal di Kota Jogja.

Baru saja dirinya tiba di depan gedung studio foto itu, Zulfa melihat laki-laki memakai jas hitam berlalu dari meja resepsionis. Berjalan menuju salah satu ruang yang ada.

Zulfa belum masuk, masih berada di motor. Ragu untuk melihat sebuah kenyataan yang sebenarnya sudah terbayang di pikirannya.

"Mbak, sudah sampai. Atau mau mengganti tempat tujuan?" tanya bapak ojek online itu pada Zulfa.

"Sebentar, Pak."

Zulfa pun turun dari motor. Menarik dan menghembuskan nafasnya dengan mantab. Meyakinkan diri untuk masuk studio foto itu.

"Pak, tunggu dulu ya? Saya cuma mau tanya ke petugasnya sebentar."

"Iya, Mbak."

Keyakinan untuk bertanya pada resepsionis studio perlahan berkurang bersama langkahnya yang semakin mendekat. Kalau tanya, takut akan mendengar kenyataan terburuk persis dengan isi pikirannya sekarang. Tidak tanya, beban pikirannya pasti bertambah.

"Ada yang bisa kami bantu, Mbak?"

"Mau reservasi? Atau mau sewa jasa fotografer kami?" tanya resepsionis itu lagi karena Zulfa tidak juga menyahut.

"Bukan."

"Kalau ada jadwal foto hari ini, boleh tahu reservasi atas nama siapa?"

Zulfa tersenyum. Tentu saja jawabannya 'bukan'. Dia kesini hanya untuk satu tujuan, mengetahui foto seperti apa yang Rahman lakukan sekarang.

"Saya mau tanya."

"Iya, silakan."

"Laki-laki yang memakai jas hitam yang baru saja masuk, sebelum saya. Dia mau foto apa ya?"

Resepsionis itu nampak bingung. Mungkin lebih terlihat menaruh rasa curiga pada Zulfa.

"Maaf, tanpa mengurangi rasa hormat. Boleh tahu hubungan mbak dengan pelanggan kami tersebut?"

Zulfa tidak tersinggung. Dia memang mencurigakan. Menanyakan informasi seseorang, tetapi dia sendiri tidak menyebutkan identitasnya.

"Saya pacarnya. Saya kesini mengikutinya diam-diam. Saya mulai curiga sama dia," ucap Zulfa dengan tegas.

Alhasil, resepsionis itu menoleh ke temannya. Saling memandang. Merasa tidak yakin dengan apa yang mereka dengar baru saja.

"Apa laki-laki tadi melakukan foto pernikahan?" lanjut Zulfa. Suaranya lirih dan penuh keraguan.

"Iya, benar. Apa perlu kami panggilkan supaya-"

"Gak perlu. Saya cuma butuh informasi itu. Makasih."

Zulfa berbalik dengan perasaannya yang mulai campur aduk. Kesal. Marah. Kecewa. Sedih. Parahnya, dia sendiri yang menjadi penyebab semua itu.

THE PERFECT POLICETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang