Rumah dengan arsitektur perpaduan jawa dan modern itu membuat Zulfa terkesima. Dia juga melihat taman di halaman depan yang terdapat banyak jenis tumbuhan, membuatnya tertarik. Aku akan melihatnya nanti setelah makan malam, begitu pikirnya.
Sekarang, Zulfa berada di antara orang-orang yang dirasanya tidak ada satu pun yang berada di pihaknya. Bahkan kedua orang tuanya berada di kubu Rahman. Dia terpaksa menuruti permintaan ayahnya karena dia sudah berjanji.
"Zulfa," panggil Nazwa-kakak Rahman.
"Iya?" ucap Zulfa berusaha dengan keras agar suaranya tak terdengar badmood.
"Dulu waktu kamu SMA, beneran pernah makan sama Rahman?"
Dilihat sekelilingnya, semua orang di ruang makan itu terlihat menanti jawaban. Zulfa sempat melirik ke arah Rahman–yang ternyata melihatnya juga.
"Pernah, Mbak. Satu kali," jawabnya kemudian.
"Kok bisa makan bareng?" tanya Nazwa lagi.
"Apa kalian memang ada hubungan?" tanya Yudha–suami Nazwa menambahkan.
"Gak ada," jawab Zulfa langsung.
Karena suaranya cukup keras, semua orang jadi terkejut.
"Aku sama Pak Polisi aja baru ketemu berapa kali."
Agham melihat ke arah Zulfa. Wajahnya seolah mengatakan 'Jangan panggil Pak Polisi'.
"Maksud aku kak Rahman, aku baru beberapa kali ketemu sama dia. Kebetulan siang itu aku mau makan sama temenku. Ketemu deh sama kak Rahman sama temennya. Ternyata, temennya kak Rahman itu sepupu temenku. Jadi, kita makan bareng deh."
"Sederhananya kamu kebetulan ketemu, terus makan bareng. Begitu?" ucap Yudha untuk memperjelas maksud Zulfa.
"Nah iya."
Bicara apaan sih, aku. Jadi gak jelas gini. Polisi sebelah ini juga gak bantu. Kelihatan bego, aneh sendiri.
"Jadi, Zulfa yang buat kamu nolak beberapa perempuan selama dua tahun ini?" tanya Yudha pada Rahman, lebih tepatnya menggoda.
Zulfa yang mendengarnya langsung menoleh ke laki-laki di sampingnya.
"Memang belum ada yang pas, Mas."
"Bohong. Dua tahun lalu aja udah bilang Bapak buat ngelamar Zulfa," ucap Nazwa yang ingin ikutan menggoda Rahman.
What? Seriously? Polisi ini?
"Lho benar begitu?" tanya Agham santai pada Rahman.
"Saya baru ngomong niat ke Bapak, minta ijin. Bapak kasih sarannya kalau Zulfa sudah kuliah saja. Saya juga dipindah tugaskan sementara ke Bogor. Jadi, harus nunggu dulu."
Sebenarnya, Rahman kebingungan untuk menjawab pertanyaan Agham. Dia sudah terpojokkan oleh Nazwa dan Yudha yang memang sekongkolan. Harus terlihat tenang, jiwa polisi.
"Harusnya langsung dilamar saja, tidak perlu nunggu Zulfa kuliah. Supaya dia tidak kelayapan."
"Aku gak pernah kelayapan," protes Zulfa.
Suasana selalu hening kembali ketika Zulfa bersuara.
"Kalau mereka udah nikah, Zulfa malah makin kelayapan. Kan ada Rahman buat diajak jalan-jalan, Om."
Nazwa berusaha untuk mencairkan suasananya.
"Tapi pernikahan itu harus disegerakan jika sudah mampu," ucap Yudha berbeda pendapat dengan istrinya.
"Benar itu kata Yudha. Kamu sudah kerja, Man. Kamu pasti mampu untuk menghidupi Zulfa, mencukupi kebutuhannya. Saya yakin itu," ucap Agham yang membuat Zulfa menoleh dan menatapnya sebal.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE PERFECT POLICE
Storie d'amore[PROSES REVISI : isi cerita akan sedikit berbeda] Apa jadinya kalau kamu dilamar saat kamu masih bergelar mahasiswa? Lalu, apa jadinya kalau kamu dilamar saat sudah menjadi pacar orang? Padahal belum ada sehari kamu menyandang status berpacaran. Nam...