Teringat Waktu Itu

5.6K 359 23
                                    

Yang sudah terjadi pasti akan berlalu, tapi tidak untuk dilupakan
(The Perfect Police)

Beberapa masakan khas rumah sudah tersaji di meja. Ada sayur bayam, tempe tahu goreng dan sambal. Tak lupa nasi putih yang pulen dengan asap yang masih mengepul. Siap dimakan untuk sarapan.

"Zulfa, berangkat jam berapa?" tanya Agham begitu muncul di ruang makan.

"Delapan. Aku bareng ayah, ya? Sekar masuk lebih siang."

"Ayah harus buru-buru ke Magelang ada acara di kampus sana. Kamu bareng Rahman saja. Nanti ayah yang telpon."

"Gak, gak, gak. Naik ojek online aja."

"Sama dia saja lebih aman."

"Gak mau. Kalau engga mending aku naik motor sendiri."

"Ya sudah, kamu naik ojek online saja. Jangan naik motor sendiri."

"Ayo makan dulu. Pagi-pagi sudah debat."

"Ayah duluan. Pagi-pagi udah bahas Pak Polisi nyebelin itu. Jadi badmood," ucap Zulfa pura-pura marah.

"Iya, maafin Ayah. Nanti pulang ayah belikan martabak manis coklat keju kesukaan kamu."

"Nah gitu."

Zulfa langsung tersenyum. Kemudian, mengambil nasi, sayur, dan lauk yang dari tadi sudah memanggil-manggilnya.

Di tengah perjalanan menuju kampus, ada razia motor. Sebagai penumpang, Zulfa santai. Pikirnya dia hanya ingin segera pergi dari tempat ini. Persimpangan ini mengingatkannya pada kejadian dua tahun lalu itu.

Hingga matanya menangkap seseorang yang Zulfa rasa lebih muda darinya sedang memohon untuk cepat dilepaskan.

"Pak, lepasin saya sekarang ya? Saya buru-buru ada ujian di kampus."

Perkataan itu hampir sama dengan yang diucapkannya dulu. Zulfa terbawa perasaan.

"Pak, saya turun di sini. Ini uangnya," ucap Zulfa pada ojeknya yang masih menunggu giliran untuk dicek surat-suratnya.

Tanpa menunggu jawaban, Zulfa langsung pergi dan menghampiri seseorang itu yang masih berdebat dengan polisi.

"Lepasin dia, Pak. Nanti dia kesini lagi lengkap bawa surat-suratnya. Biar saya yang jadi jaminannya," ucap Zulfa dengan berani menyela pembicaraan mereka.

"Kamu siapa?" tanya polisi yang masih cukup muda.

"Zulfa."

"Maksud saya, kamu siapanya perempuan ini?" tanya polisi itu lagi mulai jengkel.

"Gak penting siapa saya. Lepasin dia dulu aja."

"Tentu itu tidak bisa, dia tidak bawa surat-surat. SIM dan STNK tidak ada, maka dari itu motornya harus kami tahan."

"Ada apa ini ribut-ribut?" tanya polisi lain yang bermaksud menengahi.

Polisi itu Rahman. Zulfa semakin emosi. Kejadian itu kembali terputar di otaknya.

"Bapak gak dengar? Dia ada ujian! Bapak mau tanggung jawab kalau dia gagal dari ujiannya?!" kata Zulfa dengan keras. Seperti membentak. Bahkan, polisi itu kaget.

Zulfa tidak menghiraukan keberadaan Rahman.

"Silsilah keluarga Bapak pasti polisi. Bapak gak perlu repot-repot, susah-susah ujian atau tes. Udah pasti langsung diterima. Gak kayak kita yang gak punya kedudukan. Harus mati-matian berjuang supaya bisa sejajar sama orang kayak Bapak!"

"Kamu-"

"Ini STNK sama SIM saya. Butuh itu buat dapat uang, kan? Bilang! Semoga target barang yang disita terpenuhi."

THE PERFECT POLICETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang