Selesai bukanlah sebuah akhir, melainkan tanda untuk memulai lagi sesuatu yang lain
(The Perfect Police)
Zulfa ragu membuka pintu mobil. Dia merasa malu karena mengira Rahman ingin melakukan hal yang 'iya-iya' padanya. Padahal, laki-laki itu hanya ingin memintanya masuk mobil. Dia saja yang berlebihan.Bukan hanya malu, perasaannya juga campur aduk. Merasa senang dan sedih dalam satu waktu. Senang, dia bisa bertemu dan bicara dengan Rahman sedekat ini. Seperti yang mereka lalukan dulu. Sedih, mungkin saja ini pertemuan sekaligus kesempatan terakhirnya.
Tiba-tiba pintu mobil terbuka dari dalam. Rahman yang membukanya.
"Kenapa tidak masuk? Saya kira pintunya rusak. Ternyata, bukan."
"Emm."
"Saya hanya ingin bicara dengan kamu. Tidak akan macam-macam."
Terhipnotis atau merasa diperintah, Zulfa langsung masuk dan duduk. Detik berikutnya rasa gugup menyelimutinya. Dia hanya duduk di sebelah kursi kemudi, tetapi rasanya bagaikan sedang duduk di kursi terdakwa di pengadilan.
"Saya gak punya banyak waktu. Langsung ke intinya aja. Bapak mau bicara apa?" tanya Zulfa sambil menyilangkan tangan di depan dada. Diberanikan pula, dia menatap tajam laki-laki berseragam polisi itu.
Segugup apapun dirinya dan secampur apapun perasaannya sekarang, dia tidak akan bersikap lemah di hadapan Rahman. Sikap keras dan tidak sopan adalah sebuah perisai baginya. Ingat, tidak semua isi buku sesuai dengan sampulnya.
"Mana ponsel kamu?"
Zulfa mengerutkan keningnya. "Buat apa?"
"Berikan dulu, baru saya beritahu," jawab Rahman sambil mengulurkan tangannya meminta ponsel Zulfa.
"Mau apa dengan ponsel saya?" tanya Zulfa lagi setelah menyerahkan ponselnya tanpa curiga.
"Saya sita sementara. Ada hal penting yang harus kita selesaikan. Saya tidak mau ponsel itu menjadi halangan untuk kita bicara," jelas Rahman.
"Kenapa ponsel saya yang disita?"
"Saya sudah hafal dengan semua cara yang akan kamu lakukan, untuk menghindari saya. Salah satunya dengan berpura-pura ada yang memanggil."
Zulfa bersusah payah menelan ludahnya, "ka-kata siapa saya begitu?"
"Kamu melakukannya saat saya mengantar kamu pulang dari Semarang," jawab Rahman yang diikuti senyuman kemenangan. Senyuman yang masih dibenci Zulfa. Bahkan, semakin dibencinya karena selalu membuat jantungnya berdebar hebat.
"Bapak tahu?"
"Tentu saja. Kamu itu tidak pandai-"
"Jangan diteruskan. Bapak mau bicarakan hal penting apa?" potong Zulfa. Rasa malu semakin menyelimutinya.
Rahman memasukkan ponsel Zulfa ke saku dalam jaket yang dikenakannya. Kemudian, mengambil posisi menghadap Zulfa. Ditatapnya manik mata perempuan itu dalam-dalam.
Harus kuat. Kamu harus tatap balik. Gak boleh kalah!
"Saya dipindahtugaskan ke Bogor. Minggu depan saya berangkat jika tidak ada halangan."
Rasa sesak mulai memenuhi dadanya. Zulfa menurunkan padangannya, seirama dengan suasana hati yang turun lagi. Begini rasanya, indahnya terbang di atas awan. Kemudian terjatuh terlalu jauh.
Minggu depan? Mereka akan menikah disana dan pindah kesana? Apa dia bicara langsung denganku sekarang untuk menyampaikan undangannya?
"Zulfa," ucap Rahman menyadarkan lamunannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE PERFECT POLICE
Romance[PROSES REVISI : isi cerita akan sedikit berbeda] Apa jadinya kalau kamu dilamar saat kamu masih bergelar mahasiswa? Lalu, apa jadinya kalau kamu dilamar saat sudah menjadi pacar orang? Padahal belum ada sehari kamu menyandang status berpacaran. Nam...