Lepaskan

5.1K 372 121
                                    

Melepaskan seseorang itu butuh keberanian. Berani untuk menahan semua emosi, berani untuk mengikhlaskan tanpa harus melupakan.
(The Perfect Police)

Acara makan malam tetap berlanjut meskipun Zulfa diam seribu bahasa. Perempuan itu menahan malu dan emosinya yang ingin menghancurkan Rahman dengan kata-katanya. Sesekali dia melihat Rahman, lalu dengan cepat menunduk saat laki-laki akan balik melihatnya.

Apa dia sudah gila? Ah, dia memang gila. Lihat, dia tidak punya malu sedikit saja karena sudah membahas ini di hadapan orang tua? Tentu saja dia tidak punya malu karena dia gila. Bagaimana bisa dia setenang ini? Argh menyebalkan!!

Selalu. Setiap ada acara makan malam, Rahman dan orangtuanya tidak pernah langsung pulang. Orang tua mereka selalu ada topik untuk dibicarakan. Zulfa pasti selalu memilih untuk kembali ke kamar dengan alasan apapun. Harus bicara dengan Sekar karena urusan penting atau harus mengerjakan tugas karena deadline sudah mepet.

Namun, tidak hari ini. Zulfa memilih kabur dari rumah agar tidak mendengar pembicaraan orang tua yang terkadang tidak mengenakan hati ataupun jiwanya. Karena itu, begitu selesai makan dia langsung kembali ke kamar dan berganti baju.

"Kamu mau kemana?" tanya Agham saat Zulfa baru saja sampai di ruang tamu bermaksud untuk meminta izin keluar sebentar-sampai keluarga Rahman pulang.

"Minimarket," jawab Zulfa singkat diikuti senyuman terbaiknya. Rahman yang melihat sempat terhipnotis beberapa detik.

"Malam-malam begini. Mau ngapain?" tanya Agham lagi.

"Bobol ATM."

Zulfa memang tidak hebat dalam bercanda. Semua melihatnya dengan serius. Tidak mungkin mereka berpikir aku benar-benar melakukannya, kan?

"Ayah gak benar-benar berpikir aku akan melakukannya, kan?"

"Mungkin saja."

"Zulfa mau beli camilan. Stok di lemari udah habis."

"Jangan naik motor sendiri ke minimarket," ucap Agham. Zulfa menebak pilihannya harus mau diantar Rahman atau tidak pergi sama sekali.

"Ini sudah malam. Bahaya kalau kamu sendirian. Minta untuk ditemani Rahman?"

Minta?

"Iya, biar diantar Rahman saja. Sekalian kalian jalan-jalan malam," ucap Lukman menambahi.

Niat untuk kabur dari rumah ini justru membuat Zulfa akan terjebak bersama Rahman. Kalau bilang tidak jadi pergi, kentara sekali dia ingin menghindari obrolan mereka. Berbeda dengan Rahman yang nampak nyaman-nyaman saja.

Zulfa menatap Liana meminta saran. Pergi dengan Rahman. Itu yang ditangkapnya dari balasan tatapan Liana.

"Ayo, Kak. Keburu minimarketnya pindah."

"Assalamu'alaikum," lanjut Zulfa berpamitan.

Rahman berdiri. Kemudian ikut berpamitan sebelum menyusul Zulfa yang sudah keluar lebih dulu. Kebiasaan, perempuan itu selalu meninggalkannya, berjalan lebih dulu di depannya ketika sedang kesal. Entah pada dirinya atau kondisi yang melibatkan dirinya.

***

"Kenapa kamu diam saja?" tanya Rahman.

Zulfa sama sekali tidak bicara selama perjalanan. Bahkan, ketika Rahman bertanya minimarket mana yang ingin dituju, dia tidak menjawab. Rahman pun memilih salah satu minimarket yang yang lokasinya cukup jauh dari rumah Zulfa. Dengan begitu, mereka bisa sekalian jalan-jalan atau bicara lebih leluasa tanpa ada orang tua mereka.

"Zulfa," panggil Rahman pelan karena Zulfa masih enggan menjawab.

"Gak ada yang mau saya bicarain sama Bapak."

THE PERFECT POLICETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang