Ragu

5.4K 374 69
                                    

Saya senang jika kamu juga senang. Bolehkah saya meminta senyum dan tawa itu juga tercipta ketika kamu bersama saya?
(Rahman Natanegara)

Rahman langsung tancap gas setelah Citra pamit dan pulang lebih dulu. Dia hanya punya sisa waktu dua belas menit. Sebenarnya waktu itu tidak akan cukup untuk sampai ke gedung fakultas Zulfa. Tapi, dia tetap berusaha secepat mungkin. Dia tidak ingin perempuan itu menunggunya lama.

Rahman sudah sampai di lobi fakultas kehutanan. Dia terlambat sepuluh menit dari waktu yang diberikan Zulfa ketika sampai di tempat parkir mobil terdekat gedung fakultas itu. Dia tetap menyempatkan untuk memakai jaket karena permintaan Zulfa kala itu. Barulah dia berlari secepat mungkin untuk menemui Zulfa.

Akan tetapi, begitu sampai di lobi dia tidak menemukan Zulfa. Gedung fakultas kehutanan juga sudah nampak sepi. Rahman pun memutuskan untuk menelpon Zulfa seraya berjalan keluar.

Zulfa belum mengangkat telponnya di panggilan pertama. Rahman mencoba menelpon lagi.

"Assalamu'alaikum, Zulfa."

"Wa'alaikumsalam. Bapak jadi ke kampus saya?" tanya Zulfa di seberang telepon.

"Iya. Kamu dimana?"

"Saya udah pulang sama David. Bapak gak kasih kabar mau jemput saya. Jadi, saya duluan."

"Oh begitu ya. Apa kamu tadi sudah menunggu lama?"

"Setelah menelpon Bapak, pacar saya chat kalau udah selesai kuliahnya. Sekalian deh pulang sama dia. Saya lupa kasih tahu Bapak begitu sampai rumah. Ini juga baru buka hp lagi."

"Tidak masalah. Saya lebih tidak enak jika kamu menunggu lama."

Zulfa di seberang telepon tidak membalas.

"Saya tutup telponnya, assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Rahman pun memasukkan ponselnya ke saku jaket. Dia berjalan begitu lambat menuju tempat parkir mobil tadi. Rasanya ada yang berkecamuk dalam dirinya. Dia berusaha meyakinkan dirinya bahwa baik-baik saja. Namun, dia juga merasa ada sesuatu yang membuat dadanya berdesir sesak. Kenapa hati dan pikiran tak sejalan?

Jangan menyerah sekarang. Kamu sendiri yang menantangnya dengan batas dua bulan. Kamu pasti bisa merubah hatinya.

Rahman meyakin dirinya.

***

Teras rumah yang cukup luas semakin memperlihatkan betapa kesepiannya laki-laki itu. Dia duduk dengan kepala menunduk serta tangannya bertaut di atas kakinya. Raut wajahnya juga memperlihatkan sedang memikirkan sesuatu.

Tiba-tiba, Lukman datang dan langsung duduk di kursi di sebelah Rahman yang terpisah oleh meja kecil. Benar. Laki-laki yang nampak kesepian dan menunduk memikirkan sesuatu itu adalah Rahman.

"Kenapa? Wajahmu galau begitu."

Rahman pun membenarkan posisi duduknya.

"Hanya masalah pekerjaan, Pak."

Tentu saja dia berbohong. Sebenarnya dia begitu memikirkan omongan Irham di telepon tadi. Teman dari sejak pendidikan sampai hebatnya juga menjadi rekan kerja hingga sekarang itu bilang, "Mungkin kamu lebih baik menyerah. Lalu, mulai semua dari awal bersama orang lain. Bukan karena aku tidak percaya kamu bisa memenangkan hati Zulfa. Tapi, hati dan waktumu kurasa lebih berharga."

Irham sebagai teman dekat Rahman memang jauh lebih tahu tentang dirinya untuk masalah cinta dan perasaan. Tapi, tidak ada yang seorang ayah yang tidak mampu memahami anaknya.

THE PERFECT POLICETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang