Di Balik Jaket Seragam

5.8K 426 149
                                    

Hidup itu penuh rahasia. Sudah menjadi tugas manusia untuk memecahkan teka-teki dan mendapat sebuah jawaban
(The Perfect Police)

Gila. Kenapa dia tanya begitu? Apa pedulinya aku akan pergi dimana dan dengan siapa? Zulfa tersenyum menahan tawanya. Laki-laki di depannya ini lebih terlihat aneh di matanya.

"Mana yang harus saya jawab dulu?"

"Semuanya."

Zulfa berdeham. "Iya, benar saya mau pergi. Saya dijemput sama teman saya. Dimananya saya mau pergi sepertinya kak Rahman gak perlu tahu."

"Masih ada yang ingin ditanyakan?" lanjutnya bertanya.

"Kamu, benar sudah membaik?"

Sama sekali tidak. Cuma fisik yang membaik, tetapi hati semakin memburuk. Menghadiri syukuran ini menjadi penyebabnya.

Tolong, jangan bersikap peduli seperti ini. Saya jadi ingin kembali berharap bahwa kita tidak akan benar-benar menjauh.

"Of course. See? Saya bisa berdiri di sini dalam keadaan baik dan sangat sehat."

"Alhamdulillah, saya senang mendengarnya."

Zulfa mengernyit. Ada apa dengan Rahman?

"Janji makan siang waktu itu, saya minta maaf tidak menepatinya."

"Saya tahu dan paham, Kak Rahman pasti sibuk. Tidak perlu minta maaf begitu."

Dia terbebani dengan janji makan siang. Dia menemuiku hanya untuk ini. Jangan sampai salah paham.

"Saya mentraktir makan siang karena saya ingin berterima kasih. Kak Rahman mau maafin saya. Traktiran itu bukan sesuatu yang wajib dan harus kak Rahman lakukan. Jadi, gak perlu memaksakan diri untuk menepatinya."

"Janji tetap janji."

Mata mereka saling menatap. Sama-sama tajam. Namun, Zulfa hanya mampu melihat manik mata Rahman beberapa detik. Dia mengalihkan arah pandangannya dan menggigit bibir bawahnya.

"Bagaimana kalau besok?" tawar Rahman kemudian.

Minggu. Dia tidak bisa beralasan ada kuliah dari pagi sampai sore. Zulfa berpikir keras.

"Atau cari waktu minggu depan?"

Saya udah gak minat makan bareng Bapak lagi.

"Maaf, sepertinya saya akan sibuk dengan persiapan magang dan kegiatan penting lainnya di kampus. Saya yakin, kak Rahman juga akan semakin sibuk."

"Saya bisa menyisihkan waktu untuk kamu."

"Saya yang ragu bisa meluangkan waktu," balas Zulfa.

"Apa tidak bisa saya meminta waktu sebentar saja untuk berbicara dengan kamu? Ada sesuatu yang sangat ingin saya katakan."

Zulfa tidak tahu harus menjawab apa. Dia hanya ingin segera pergi dari hadapan Rahman.

"Zulfa."

Rahman maju satu langkah.

"Maaf, saya harus mengangkat telepon ini," ucap Zulfa seraya menunjukkan layar ponselnya. Ada panggilan masuk dari Haris.

"Permisi."

Rahman menghela napasnya, menatap kepergian Zulfa. Berapa kalipun dia berusaha menahannya. Zulfa selalu berhasil kabur dari pandangannya. Persis seperti pagi ini. Kenapa dia menghindar lagi? Dia juga dingin sekali, berbeda dengan biasanya.

Rahman masih mampu menghadapi ucapan Zulfa yang ketus dan kasar, serta kata-kata yang tidak mengenakan lainnya. Dia bisa memakluminya. Namun, tidak dengan sikap Zulfa yang terkesan dingin. Dia tidak pernah melihatnya. Aku harus bagaimana?

THE PERFECT POLICETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang